"Apa yang kau lakukan di sini manusia? Pergilah! Di sini bukan tempatmu."
Singa jantan itu mengaum, menggetarkan setiap jiwa dan tubuh yang kecil, memberitahu akan batas dan hal yang tak seharusnya dimasuki.
"Melihat manusia membuatku muak," ucap singa itu dengan perasaan marah dan dengki yang memenuhi amber matanya.
"Pergilah. Manusia tak layak untuk menjadi santap pagiku. Daging kalian terlalu busuk untuk kami."
Suara waktu merembes di celah-celah batu bersama air yang mengalir dalam akar-akar setiap pohon. Burung-burung tertawa dan matahari mulai menunjukkan matanya yang setengah hari telah puas terlelap.
Surai singa itu begitu mengancam. Seperti menandakan sebuah awal dari kelahiran segala yang ditakuti. Suara langkah kakinya bergema, seakan menciutkan seluruh yang ada di sekitarnya.
"Terkutuklah manusia! Terkutuklah yang membuat keberadaan makhluk sepertimu! Pergilah! Dan jangan pernah kembali lagi!"
Singa itu bagaikan memejamkan kedua matanya, menutup segala yang tak ingin dilihatnya, dan membungkam apa pun yang masuk ke dalam kepalanya. Segalanya seolah hanyalah masa lalu yang terlalu mencabik dan menjadi racun. Mengeraskan apa yang ada di dalam. Menjelma amarah dan rasa sakit. Dunia yang tak mampu diobati oleh apa pun.
"Wahai sang singa, kenapa kau begitu membenci kami?" jawabku dari balik lebatnya dedaun.
Singa itu berjalan ke arahku. Begitu agung. Keberadaan yang memenuhi hutan dengan apa yang dimilikinya.
"Seorang pembunuh tak layak bicara di hadapanku," ujar singa itu tepat di depan kedua mataku yang mulai mengerti, akan keberadaan yang tertelan oleh kehilangan warna-warna hidup yang dicintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA YANG MEMBOSANKAN
Não Ficçãotentang segala sesuatu kenapa dunia ini membosankan.