"Musim terakhir. Inilah musim terakhir manusia," ujar Pak Tua menirukan kata-kata terakhir Zarathustra, sebelum akhirnya kedua kakiku beranjak bangkit dari kemalasannya yang begitu berlonjak.
"Semoga waktu membalas kehadiranmu Pak Tua. Sudah saatnya aku pergi."
Sang tongkat di tangan kananku akhirnya mengeriap bangkit dari tidur panjangnya. "Oh, pohon putih yang indah!"
Aku menatap pohon putih yang menjulang tinggi di depan mataku. Angin berkelebat layaknya burung-burung yang terbang bergerombol. Menggugurkan dedaunan putih yang menyurupai guguran hujan di kala cahaya matahari menerobos melewati pucuk-pucuk yang hampir rapat dan bergerak-gerak riuh.
"Kau benar tongkat. Pohon yang indah."
Sebatang pohon meninggi
Mengucapkan hadir pada segala
Oh bumi, kehidupan yang begitu luasAku melihat samar di atas sebuah batang yang terurapi oleh lebatnya dedaun. Seekor cerpelai tengah mengunyah bebijian dalam waktu yang begitu membahagiakan baginya. Seekor burung pelatuk menghadirkan ketukan kecil pada hutan yang mengembalikan gemanya. Burung-burung menghambur sewaktu angin bertiup lebih kencang dan penuh.
Aku tengah memikirkan kata-kata terakhir Zarathustra dari mulut Pak Tua yang membuatku cukup terkejut. "Musim terakhir manusia," ujarku pelan pada diriku sendiri selagi dedaunan putih berjatuhan mengenai tubuh dan kepalaku.
"Dunia yang mulai berguguran. Akankah seperti itu, wahai engkau yang terakhir?"
Aku memandangi begitu lekat segala yang ada di sekitarku. Cukup lama. Terasa, kehidupan di tempat ini begitu teduh dan menenangkan. Layaknya waktu yang menyelimuti dirinya dalam permukaan mimpi yang begitu dalam.
"Beban terberat manusia adalah menjadi waktu. Karena mereka menginginkan hal yang panjang selagi yang pendek adalah cukup."
Aku menunduk, mengambil salah satu daun putih yang berada tepat di bawah kedua kakiku.
"Dedaunan lebih tahu caranya menggugurkan dirinya dari pada manusia. Sedikit manusia yang memahami kebijaksanaan usia."
"Ya. Manusia ingin kekekalan," balas sang tongkat tiba-tiba. "Usia tanpa kesadaran diri. Itulah manusia."
"Kau benar tongkat. Kau benar."
Seekor gagak terbang rendah di dekat permukaan tanah lalu hinggap di salah satu cabang pohon putih. Keberadaannya yang hitam pekat, begitu besar dan terasa jelas dalam latar yang berbeda dari warna keberadaannya.
Burung itu menoleh padaku. Lalu berkata, "Hai Manusia."
Aku menatap burung itu tanpa suara. Hanya derak pucuk-pucuk pepohonanlah yang terdengar oleh kedua telingaku. Atau gema dari angin yang bergerak di seisi hutan yang riuh.
"Apakah burung ini telah berbicara padaku?" Aku mencoba meyakinkan diri sendiri. Suara gemersik dedaunan yang aku injak, menjadikan suasana aneh yang tak bisa aku mengerti. Aku terdiam dalam kebisuaan mulutku. Dan burung itu seakan menatapku lebih tajam.
"Hai Manusia."
Aku bergerak mundur. Terkaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA YANG MEMBOSANKAN
Non-Fictiontentang segala sesuatu kenapa dunia ini membosankan.