Chapter 2 (part 1)

253 55 73
                                    

Arza mengencangkan dasinya, lalu menatap pantulan dirinya sendiri di cermin besar yang diletakkan di dekat pintu kamarnya.

Matanya biru, sebiru laut. Rambutnya hitam legam, bergelombang, dan terlihat licin, dengan panjangnya hingga batas atas dada. Bibirnya kecil dan tipis, membuat warna pink di sana terlihat seolah diolesi lipbalm. Kulitnya bersih. Dan terakhir, tentu saja, tidak ketinggalan body goals-nya yang menjadi kepinginan anak-anak jaman sekarang. Anak-anak yang menginginkan sesuatu yang bagus tanpa ingin melakukan usaha untuk meraihnya.

Meski dengan baju yang agak kebesaran dan rok yang agak kepanjangan, entah bagaimana
Arza tetap terlihat dewasa dengan keimutan yang tidak bisa dijelaskan.

Tangan Arza bergerak naik, menyentuh pantulan dirinya sendiri di cermin. Rasanya, sudah lama sekali sejak dia terakhir bercermin. Dan rasanya lama sekali, sejak terakhir kali Arza melihat dirinya sendiri.

Arza menatap tepat ke matanya sendiri melalui cermin, berusaha menyelami matanya yang sarat akan kesedihan. Dan mendadak, sesuatu di dadanya luruh, menyisakan perih yang tidak terdefinisikan.

"Arza! Ayo, sarapan!"

Jemari Arza tersentak, membuatnya cepat-cepat menurunkan tangannya ketika mendengar suara wanita yang tidak asing baginya. Ia menoleh ke arah pintu.

"Iya, Mom! Sebentar!" seru Arza. Ia menatap ke cermin sekali lagi, lalu menggeleng pelan. Bisa-bisanya dia jadi lembek setelah waktu banyak berlalu. Begitu pikirnya.

Arza mengikat kuda rambutnya, membuat sisi kelaki-lakian dalam dirinya sedikit terpancar. Tetapi ketika dia memasangkan kacamatanya yang berbingkai besar, kecantikannya seolah lenyap begitu saja.

Bagaimana bisa? Entahlah. Mungkin apa yang membuatnya terlihat menarik berhasil ditutupi kacamata itu. Matanya misalnya. Sekarang terlihat berwarna coklat seperti umumnya orang Indonesia.

Bagaimana bisa? Entahlah. Arza sudah membayar mahal demi kacamata ajaib itu. Demi menutupi segala tentang dirinya yang membawa kesialan.

'Enak ya jadi orang cantik.'

Kurang ajar banget orang yang bilang kayak gitu. Jadi orang cantik itu banyak resikonya. Sini deh, kalok mau tukeran wajah. Dengan senang hati aku, mah.

Arza tiba-tiba ngedumel dalam hati sambil meraih tasnya.

Setelah memastikan kamarnya rapi, Arza mengangguk untuk dirinya sendiri dan keluar kamar.

"Pagi, Mom! Pagi, Dad!" sapa Arza sambil bergerak cepat menuruni tangga.

"Pagi, Arza!" balas Momnya yang sambil mengoleskan selai ke selembar roti tawar. Arza meletakkan tasnya ke salah satu kursi yang selama beberapa tahun terakhir selalu kosong. Setelah mencium kilas pipi mamanya, dia duduk manis di kursinya.

"Haih, padahal anak Dad udah SMA, tapi kenapa masih belum mau berubah?" tegur papa Arza. Arza melirik melihat papanya yang masih sibuk dengan tabletnya, entah sebenarnya sang papa itu sempat melihatnya atau hanya asal mengucapkan kalimat itu.

"Emang salah ya kalok makek kacamata model gini? Kan biar nggak mencolok gitu, Dad. Baju kedodoran juga bukannya bagus? Malah Arza jadi nggak kayak jalang, ngumbar badan."

Mulut Arza gatal sekali ingin mengucapkan itu untuk membalas ucapan papanya. Tetapi ditahannya, dan hanya mengangkat bahu sebagai respon untuk sang papa.

"Nggak papa kali, Dad! Arza bukan tipe cewek sombong yang suka ngumbar 'aku cantik' meski kenyataannya emang gitu."

Arza mengangkat salah satu alisnya. Mamanya selalu pintar mencari alasan. Papa memang tidak tau apa yang sudah membuat Arza berubah sejak dua tahun lalu. Membuat Arza kapok menjadi orang yang disegani banyak orang lain.

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang