Dia bisa melihat Hira menatapnya seperti idiot, sebelum kemudian mengangguk pelan.
___°^°___
Arza menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan Abil. Menyebalkan. Dia itu terlihat seperti idiot sewaktu menggoda perempuan.
Oke, masalahnya dia tidaak tau apa yang harus dia lakukan agar bisa menghindari pembicaraan dengan Abil. Pura-pura makan? Piringnya saja sudah bersih, mau pura-pura bagaimana?
Arza mengambil tas mamanya, mengaduk-aduk isinya. Dia tahu mamanya selalu membawa sesuatu yang sudah menjadi candu bagi Arza. Dan seperti yang diduga, sebuah kanvas tanpa bingkai ukuran 10x10 cm dan sebuah kotak pensil yang isinya beberapa buah charcoal (pensil arang) dan sebuah kneaded eraser—yang bentuknya sudah tak tahu berupa apa—berhasil ditemukan Arza.
Arza membuka lipatan kanvas kecil itu, berusaha menghilangkan garis bekas lipatan, tapi tetap tidak hilang. Baiklah, biarkan saja. Arza juga mengambil sebuah charcoal dan mulai menggambar. Kain kanvasnya diletakkan di atas meja setelah dia menyingkirkan piringnya.
"Arza! Melukis, lagi?" bisikan mama Arza membuat Arza tersentak. Dia mendengus, nyaris saja arsiran yang dibuatnya melenceng.
"Hira, Mom! Hi.Ra!" Arza balas berbisik kesal, melanjutkan kegiatannya yang hampir selesai.
"Oh, okay. Omong-omong, Mom lama nggak liat kamu nggambar."
Arza tersenyum tipis mendengarnya.
"Kenapa?"
Mama Arza refleks menoleh saat bahunya disentuh teman barunya.
Mama Arza nyengir. "Nggak ada. Nih, Hira lagi nggambar. Dia itu nggak tau waktu nggak tau tempat, kerjanya nggambar terus," tutur mama Arza.
"Oh ya? Bagus, dong." Tante Nina menatap Arza kagum. Arza membalas dengan senyuman manis yang tulus, membuat teman baru mamanya memerah pipinya. Tidak menyangka gadis yang sedari tadi duduk diam punya senyuman menyenangkan.
"Agak nggak terduga, ya." Om Danu tiba-tiba ikut nimbrung. "Arzahira nggak keliatan suka seni," lanjutnya, membuat Arza menahan senyum, malu.
"Iya, kan? Wajahnya keliatan judes-judes cantik gimana gitu," timpal papa Arza, membuat gadisnya nyaris melotot kalau saja lupa sedang di tempat umum.
"Like my wife." Papa Arza nyengir jahil. Kali ini, istrinya benar-benar melotot ke arahnya, membuat Tante Nina tertawa pelan.
"Ar... um, Hira suka melukis ini, emang udah turunan neneknya. Neneknya juga berjiwa seni banget. Yang hebat dari Hira, lukisannya selalu menghipnotis. Semakin lama dilihat, malah semakin kita betah ngelihatin lukisannya. Adaa aja yang menarik perhatian," ucap papa Arza. Arza mengangguk-angguk mendengar papanya mengucapkan namanya dengan baik di depan Abil.
"Boleh kulihat?" Arza menoleh, menemukan kakaknya si playboy tersenyum padanya, mengulurkan salah satu tangannya.
Arza mengangguk canggung, menyerahkan kanvasnya. Sebenarnya dia tidak begitu percaya diri pada gambarannya kali ini. Terlebih dia sengaja menggambar salah satu objeknya dengan sejelek mungkin. Tapi Nabil terlihat kagum pada karyanya.
"Waah, bagus banget," gumam Nabil. Dia terlihat terlalu kagum, membuat Arza tersenyum geli pada responnya yang sepertinya berlebihan.
"Aku, aku! Aku juga mau lihat," Abil —yang selalu tidak mau kalah dari kakak laki-lakinya—berusaha merebut lukisan itu. Nabil mengalah, menyerahkannya, takut merusak kanvas.
Abil mengamati gambaran Arza dengan saksama. Sebuah senyuman perlahan terbit di bibirnya, "wah, gila," bisik Abil pelan.
___°^°___
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Dimensi
Teen FictionTentang Arza, yang kehilangan alasan untuk memikirkan masa depannya. Dan tentang Abil, yang membuang masa lalunya, pun memilih persetan dengan yang namanya masa depan. Tentang mereka, yang tidak mampu lepas dari ego dan rasa, mengalahkan keberadaan...