"Tadi gue ketemu Vanya," ucap Abil. Kribo mengangguk-angguk sambil memainkan kakinya yang diluruskan.
"Dia ngomongin soal hubungannya sama Bang Nabil." Kribo tetap mengangguk-angguk.
Semburat merah menghias langit, menemani hangat matahari yang belum hilang dari permukaan bumi. Meski matahari sudah mulai turun, sekolah masih belum benar benar sepi.
Anak laki-laki masih ramai bermain sepak bola. Anak perempuan menggerombol di beberapa tempat, menggosip ria entah tentang apa.
Abil dan Kribo duduk santai di pinggir lapangan sepak bola belakang sekolah. Di atas gundukan tanah yang luas dan diselimuti rumput-rumput. Di bawah sebuah pohon jambu air yang rindang dedaunannya sedang menghijau. Menatap bola ditendang ke sana ke mari. Menatap cat gedung belakang sekolah yang hijau, elok.
"Katanya, Abang nyuekin dia lagi. Renggang banget hubungan mereka akhir-akhir ini." Abil melanjutkan curhatannya setelah hening beberapa saat.
"Terus? Lo mau apa?" tanya Kribo tanpa mengalihkan pandangan dari bola yang terus bergulir dari satu kaki ke kaki lain.
"Ya bantuin dia benerin hubungannya lah, ya. Emang lo pikir gue ada pilihan lain?" kata Abil ringan, tapi terdengar muram.
"Ada! Lupain dia! Tapi gue tau lo nggak akan milih pilihan itu berapa kali pun gue saranin." Kribo mengernyit melihat bola di lapangan sana batal masuk ke gawang, padahal nyaris saja.
"Kayak gue bakal bisa aja. Lo kan tau gue juga mau kalok bisa," ucap Abil, terdengar putus asa.
"Terus? Gue nih yang sulit kalo lo gonta-ganti pacar. Capek gue nyarinya. Eh iya lupa, gue belum nyariin yang keseratus." Kribo menghentikan gerakan kakinya.
"Udah deh, Bo. Gue juga mau berhenti aja kayaknya." Abil menekuk lutut, membuat guratan-guratan tanpa motif di tanah yang sebelumnya sudah dia cabuti rumputnya.
"Serius? Lo? Yang udah punya 99 mantan, mau berenti gitu aja?" Kribo menoleh terkejut, sedikit prihatin melihat sobatnya nelangsa.
"Nggak usah dramatis deh, Bo. Gue cuma males aja. Nggak ada gunanya kan, pacaran? Buktinya gue belum juga bisa move on meski mantan gue bisa lo temui dimana mana," kata Abil.
"Semua cewek sama aja. Nggak ada yang bisa bikin gue lupa Vanya barang sedetik doang," lanjut Abil.
"Elo deh, Bil, yang dramatis." Kribo memicingkan mata saat Abil berkata 'barang sedetik doang'.
"Diem. Gue emang drama king." Abil menjawab sahabatnya sambil memajukan mulutnya, kesal.
Kribo kembali menatap lapangan, "lo seriusan mau berenti?" tanyanya.
"Yaa, gimana ya. 100 tu angka bagus, Bo. Gue pengennya dia, yang keseratus tuh, beda. Bisa bikin gue hidup, bikin gue berselera buat bahagia." Abil menarik tangannya, lalu membersihkan ujung jarinya yang kotor.
"Kaya selama ini lo mati, aja. Kaya selama ini lo nggak bahagia aja waktu main basket," cibir Kribo, yang dibalas Abil dengan sikutan di rusuk.
"Aw, sakit njer. Jadi mau lo, dia nggak bisa gampang lo dapetin. Gitu kan?" Kribo mengusap-usap sisi tubuhnya yang berasa nyut-nyutan.
"Ya, lo bisa bilang gitu, sih. Yang bikin gue tertantang, lah. Kalo dia bisa sekalian bikin gue lupa sama Vanya, wah! Bakal gue kejer-kejer tu cewek sampe dapet." Abil berkata setengah semangat setengah berharap. Sepertinya keinginannya hanya akan mengambang tanpa dikabulkan, suatu kemustahilan.
"Halah, paling juga ntar udah dapet, nggak ada tiga hari udah lo putusin." Kribo memonyongkan mulutnya.
Abil nyengir tanpa dosa. "Serunya pacaran kan emang pas ngejar doang. Memacu adrenalin," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Dimensi
Teen FictionTentang Arza, yang kehilangan alasan untuk memikirkan masa depannya. Dan tentang Abil, yang membuang masa lalunya, pun memilih persetan dengan yang namanya masa depan. Tentang mereka, yang tidak mampu lepas dari ego dan rasa, mengalahkan keberadaan...