Bagus, Za! Gitu aja terus. Sedikit demi sedikit Lo malah narik dia dari lubang keputus asaannya. Gue tau Arza emang bukan orang sembarang.
___°^°___
"Zaa ... please." Abil merautkan wajah dengan wajah memelasnya, berharap ampuh seperti yang sudah-sudah.
"Enggak, Bil! Gue sibuk. Udah gue bilang gue sibuk," jawab Arza sambil terus berjalan.
"Bennntar, doang, Za! Bentar," ucap Abil sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya.
Abil memohon-mohon dalam hati semoga Arza segera bilang 'ya'. Kesabarannya sudah sampai di puncak. Tapi dia tidak mau meledak begitu saja, dan menggagalkan rencananya yang sudah disusun matang.
Abil berhenti mendadak ketika Arza yang berada sedikit di depannya juga berhenti. Dia menatap bingung pada Arza yang tengah menatap kaget ke pergelangan tangannya sendiri. Abil mengikuti arah pandang Arza, lalu kaget juga.
"So ... Sorry, Za." Abil menarik cepat tangannya yang ternyata tanpa sadar mencekal pergelangan tangan Arza.
Arza menetralkan kegugupannya, lalu menatap mata Abil dengan berani.
"Lo tuh, ya! Kemaren-kamaren kan udah janji nggak bakal gangguin gue! Bukannya berterima kasih trauma lo ilang, malah makin semangat aja ganggu ketenangan hidup gue. Eh curut, sekarang lo diem dan nyingkir dari pandangan gue," ucap Arza. "Sebelum gue injek," lanjutnya tegas.
"Ya enggak, Za! Ini justru gue pengen berterima kasih karna lo bantuin gue ngilangin trauma. Mau berterima kasih juga soalnya lo udah mau ngelukis buat gue dengan ikhlas dengan niat yang nggak jelek. Ini cuma usaha terima kasih gue!" balas Abil tak mau kalah.
Abil sudah memikirkan alasan ini berkali-kali sejak semalam, dan merasa memang alasan yang tepat untuk tetap mendekati Arza.
Arza mengeratkan gerahamnya, gemas. Rasanya dia terpojok dan tidak memiliki celah untuk keluar.
Pertama, semakin dia menolak, dia yakin Abil akan semakin bersikeras memaksanya. Atau mungkin setelah ini semakin gencar mengganggunya.
Kedua, Arza sudah susah payah menahan diri sejak tadi setiap kali membentak Abil. Dan umpatan-umpatan kasar yang di ucapkannya, menjadi pedang untuk dirinya sendiri. Memang begitu. Arza merasakan sakit hati ketika mendengar orang lain di maki. Dan dalam hal ini, dialah pelakunya.
Ketiga, Arza juga sudah mati-matian bertahan untuk tetap mengatakan 'tidak'. Bagaimanapun, ini bukan Arza yang sebenarnya. Seorang Arzahira bukanlah tipe orang yang bisa mengatakan kata itu dengan mudahnya. Dia tipe yang tidak bisa mengatakan tidak.
Arza mengepalkan tangannya, teringat bagaimana OSIS SMP lamanya memanfaatkannya karena ketidak-mampuannya melakukan penolakan.
Arza menatap wajah Abil yang terlihat mengenaskan dengan ekspresi memohon itu.
Jangan ucapin apapun lagi! Sekali lagi lo mohon, Oh My ... Aku udah nggak tahan nolak! Ini bates dinding yang bisa kubangun.
"Za, please!"
Holly shit!
Arza mendengkus keras. Kan! Misuh kan gue jadinya! Kebablasan kan!
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Dimensi
Teen FictionTentang Arza, yang kehilangan alasan untuk memikirkan masa depannya. Dan tentang Abil, yang membuang masa lalunya, pun memilih persetan dengan yang namanya masa depan. Tentang mereka, yang tidak mampu lepas dari ego dan rasa, mengalahkan keberadaan...