Chapter 13

67 19 77
                                    

Pernah melakukan suatu kebiasaan, lalu tiba-tiba kamu dipaksa berhenti melakukan kebiasaan itu? Padahal di saat bersamaan, kebiasaan itu sudah menjadi hobi tanpa sadar. Tapi secara sadar, kamu merasa kebiasaan itu bukan hal yang kamu inginkan.

Rasanya seperti bumi kembali pada rotasi setelah keluar dari garis edarnya. Rasi-rasi bintang yang semu, seolah kembali pada tata letaknya seharusnya. Semua kembali seperti semula. Tak terasa ada yang menghilang, tapi terasa ada yang kurang.

Sama seperti Arza. Dia kembali ke kebiasaannya satu bulan lalu. Kembali berangkat bersama Zidni. Kembali bertengkar dengan Dede. Kembali melukis sampai cemong warna sana-sini dengan Ali.

Tanpa pernah bersinggungan lagi dengan Abil. Seolah, benang merah yang merajut kenangan mereka sebulan terakhir tidak pernah terjadi. Seolah, semua hanyalah mimpi. Dan waktunya untuk kembali ke kenyataan lagi.

Tidak ada lagi suara mengesalkan yang memekakkan telinga Arza. Tidak ada lagi yang membuat Arza berpikir apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dan tidak ada lagi yang merusak rencana buatannya itu. Juga tidak ada lagi cerita ponsel bergetar dan berdering tiap malam mengganggu tidur Arza.

Arza yang sempat bisa tertawa seolah hanya fatamorgana. Tidak ada lagi raut yang menggurat wajah datarnya. Kembali hanya di ruang lukisnya dia bisa bercanda. Bersama Ali, tentu saja. Tanpa perlu berpura-pura.

Meski sejatinya Arza tetap berpura-pura. Tawanya tak sempurna karena bahagia.

Dan sama seperti sebelumnya. Arza bisa kembali menikmati waktu sendirinya di lantai tiga rumahnya.

Tapi tidak sama seperti biasanya. Arza tidak melukis. Hanya duduk. Diam. Menatap senja. Hingga langit berubah gelap. Dia tidak akan bergerak, apalagi turun. Kecuali jika Bi Yati sudah memanggilnya untuk makan malam.

Seperti malam ini. Arza duduk memeluk lutut, menatap tanpa arti ke arah hutan di depannya yang sudah gelap. Langit sudah berubah biru dengan warna yang sangat kelam. Satu dua bintang terlihat berkelip, menghias langit malam yang begitu sepi. Suara jangkrik dari arah hutan menjaga Arza dari keheningan malam.

Angin berembus, membuat darah Arza berdesir, turun suhunya. Tapi Arza bergeming.

"Arza."

Arza tidak bergerak mendengar panggilan itu. Membiarkan suara langkah kaki mendekatinya dari belakang. Sesosok familiar kemudian muncul di sudut mata Arza, bergerak duduk di sampingnya.

"Liatin apa, sayang?"

Arza masih tetap bergeming.

"Lagi berusaha ngerekam apa-apa yang bakal kamu tinggalin? Biar nggak kangen?"

Arza sedikit memiringkan kepalanya.

"Mungkin?" desis Arza. Sebuah lengan kekar yang terasa sangat nyaman merangkul bahu Arza. Tangannya menggiring kepala Arza agar bersandar di pundak.

"Dad bakal kangen banget sama Arza." Pria dewasa di samping Arza mengecup puncak kepala anak gadisnya dengan lembut.

Mendadak, mata Arza memanas. Arza terisak, lalu menenggelamkan wajah di pelukan papanya. Sang papa tersenyum lembut, membelai kepala putri keduanya.

Tubuh Arza mulai bergetar hebat. Dia sendiri tidak tau apa yang sedang dia tangisi. Dia tidak yakin apa yang membuatnya merasa sedih. Dia tidak tau apa yang membuatnya menjadi sangat sentimental berhari-hari terakhir.

Yang dia tahu, kepalanya terasa amat berat. Dan dadanya terasa sangat sesak. Padahal kepalanya kosong. Padahal dia tidak merasa ada beban yang memberati dadanya.

Arza meraup udara dengan rakus melalui mulutnya. Sesenggukan. Wajahnya sudah sempurna basah air mata.

Arza ingin menangis. Hanya itu. Terus menangis dan merajuk pada semesta. Berharap semua yang hilang dari dirinya dapat dikembalikan, memenuhi dirinya yang saat ini terasa sangat hampa.

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang