Chapter 5

126 21 51
                                    

"Arza!!" Abil berlarian di lorong, berseru. Membuat beberapa anak memperhatikannya dengan bingung. Dan memperhatikan Arza.

"Oi, Za!" Abil mengatur napasnya saat tiba di samping Arza yang terus berjalan.

"Kok lo diem aja sih pas gue panggil?" Arza membalas dengan gumaman tak jelas, membuat Abil manyun. Sudah capek-capek lari, nggak ada sambutan, pula. Abil membasahi bibir atasnya, mencari topik.

"Eh iya, Za. Thanks ya sama lukisan kemaren-kemaren. Udah gue pigurain." Abil mengacungkan jempolnya.

"Lukisan lo sendiri gimana? Kemaren ini lo lanjutin? Udah selesai?"

Arza masih tidak menanggapi, seolah tidak ada orang di sampingnya.

Abil menelan ludah. Ni anak pura-pura tuli apa beneran mendadak tuli? Gue pikir kemaren lusa udah tambah deket gue sama dia.

"Btw, lo mau kemana sekarang?" tanya Abil lagi, pantang menyerah.

Arza mendadak berhenti. Dia mengharapkan tubuhnya ke arah Abil, membuat Abil senang akhirnya direspon. "Lo kurang kerjaan apa gimana, sih? Capek telinga gue seharian ini dengerin kicauan ko."

Oke, respon yang tidak terduga. Abil menelan ludah.

Kicauan.
Kicauan.
Kicauan.

Belum puas ngatain gue kadal, sekarang nganggep gue burung?

"Lagian lo bilang nggak akan gangguin gue." Arza kemudian melanjutkan jalannya, meninggalkan Abil yang masih mematung.

Abil bisa merasakan pundaknya tiba-tiba ditepuk, dan rasanya ada energi yang mengumpulkan kesadarannya mengalir dari tepukan itu.

"Apa-apaan itu tadi, men?" Kribo merangkul Abil.

"Gue juga nggak tau." Abil nyengir bingung.

"Nggak ada angin nggak ada ujan tiba-tiba gue kesamber geledek. Tu anak keselek biji salak apa lagi pms tiba-tiba jadi judes gitu," lanjut Abil.

"Setahu gue nih ya, biasanya dia emang gitu," ucap Kribo.

"Lo nggak tau sih gimana enaknya dia diajak ngobrol waktu dua hari lalu." Abil mengembuskan napas lelah.

"Jangan-jangan dia punya kembaran kali. Terus yang lo temui waktu di rumahnya tu ternyata kembarannya," celetuk Kribo.

Abil menyodok rusuk Kribo, membuat sobatnya itu melepaskan rangkulannya.

"Ngaco Lo," ucap Abil.

"Lagian kemana aja lo kemaren? Ngapain juga lo kasih jeda pdkt nya. Setau gue pdkt tuh tiap hari tanpa henti," ucap Kribo, kembali merangkul sobatnya. Rusuknya sepertinya sudah kebal. Kribo menuntun Abil berjalan ke arah kantin.

"Kemaren gue ngurusin Vanya. Nangis sesenggukan dia gara-gara Ziko nggak tau diri itu." Abil diam sejenak saat sadar rangkulan Kribo mendadak kaku.

"Lagian gue pikir Arza bakal marah banget kalok gue gangguin tiap hari. Nah, Lo tadi liat juga kan gue jedain sehari aja udah bosen dia liat muka gue," lanjut Abil, mengarang.

Kribo mengangkat bahu. "Lo pilih Vanya apa Hira?"

Abil menoleh cepat, "Hira! Untung Lo ngingetin. Gue sampe lupa kalok gue kudu nyari Hira!"

Kribo tersenyum puas. "Lo pilih Hira apa harga diri lo sebagai playboy di sekolah ini?"

"Dua-duanya!" Abil menjawab cepat. Tiba-tiba Abil menggeram.

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang