Chapter 14 (part 2)

46 14 52
                                    

Arza mengembuskan napas. Berharap ketegangan yang menghantuinya ikut terhempas. Dia melirik Nabil yang ada di samping belakangnya. Dibalas anggukan penghantar kekuatan.

Arza mengembuskan napas sekali lagi, lalu mulai melangkah. Tepat saat Arza memasuki kelas—mengikuti gurunya yang sudah lebih dulu berjalan, meninggalkan Nabil yang tetap di depan kelas X MIPA 2 mendadak hening.

Sampai salah satu anak di pojok kelas menyeletuk.

"Piuwwit! Ce~wek! Anak baru dari mana, Pak?!"

Pak Tri, guru BK sekaligus wali kelas X MIPA 2, geleng-geleng kepala.

"Wong ini ketua kelasmu mau ijin pergi kok malah dibilang anak baru," ujar Pak Tri dengan khas medoknya.

Sekelas kompak bergumam 'ha' dengan nada bertanya di ujung kata. Mereka memperhatikan gadis di hadapan mereka lamat-lamat.

Ketua kelas? Seingat mereka, ketua kelas berkacamata. Rambutnya selalu ikat kuda. Bajunya kegedean. Matanya kecoklatan.

Sama sekali tidak sama dengan makhluk di hadapan mereka sekarang.

"Lha, kayak gini, ni. Definisi asli dari lali konco. Ini Arza. Ketua kelas kalian." Pak Tri memperjelas.

Spontan, kelas kembali bising. Sebising saat Arza belum masuk ke kelas. Bisikan-bisikan tak percaya tertangkap telinga Arza, tapi tak dihiraukannya.

Arza menarik bibir tipis. Mata birunya terlihat cukup bersinar, hasil kompresan es semalaman setelah ia puas-puaskan tangisan. Tidak ada mata merah ataupun bekas bengkak yang tertinggalkan.

Masih dengan tarikan tipis bibirnya, Arza menatap Ailiya yang duduk tepat di depannya. Dengan dagu terpangku di kedua tangan yang bertumpu di atas meja. Tersenyum, memperhatikan Arza dengan tertarik.

Arza perlahan melirik. Menatap Dede yang sedang bersandar di dinding, sedang menatap Arza dengan sinis. Sejak awal, Dede tau ada yang tidak beres dengan Arza. Tidak mungkin seorang dengan peringkat tujuh tidak masuk ke kelas A1.

Meski hari ini, Dede sendiri cukup terkejut. Sesuatu yang berusaha ia bongkar selama ini, ternyata melebihi ekspektasi.

Mata Arza kembali bergerak. Kali ini terkunci pada Kribo yang tersenyum, sama tipisnya dengan senyuman Arza. Menatap Arza dengan tatapan penuh arti.

Arza mengangguk tak kentara, di balas anggukan kecil oleh Kribo. Arza melirik ke kursi kosong di samping Kribo. Mendadak kecewa.

Padahal, hari ini Arza akan berpamitan dan melepas jabatannya sebagai ketua kelas. Padahal, hari ini Arza berpamitan, dan untuk Abil-lah tujuannya sebenarnya.

"Diaam diam! Arza mau bicara," seru Pak Tri. Kelas perlahan tenang, meski masih bersisa bisikan-bisikan, yang tak kentara.

Arza berdehem.

"Sebelumnya ... hai. Gue Arza. Um, oke. Ini bukan perkenalan murid baru," ucap Arza canggung. Dia menarik napas.

"Tapi gue tetep mau kenalan. Berhubung, kenalan kita dulu kayanya bukan perkenalan yang bener, karna nyatanya kalian nggak ngenalin gue sekarang."

"Gue Arza. Arzahira Jingga 'Eil Rosyidiana. Yang kalian liat sekarang nggak bohong, kok. Terutama gue tau, kalian nggak percaya sama mata biru gue. Ini bukan softlens, ini justru mata asli gue.

"Di sini, gue mau pamitan sama kalian. Gue harus pergi karena gue sakit. Nggak parah, sih. Tapi, gue tetep mau minta doa kalian semoga gue bisa cepet sembuh."

Kelas kembali ramai, riuh rendah. Arza diam, memberikan waktu bagi teman-temannya untuk menerima kenyataan.

"Trus trus, ketua kelasnya gimana?" celetuk salah seorang anak, membuat anak-anak yang lain lantas mengiyakan pertanyaan tersebut.

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang