Pria itu memarkirkan motornya sembarangan, lalu cepat-cepat menuju halaman bandara. Dia melihat sebuah pesawat melintas tepat di atasnya saat dia masih terjebak lampu merah dan kemacetan tadi. Yakin, dia sudah terlambat menjemput hari ini.
Pria itu menoleh kiri kanan, menyeberang lautan orang-orang mencari seseorang, yang memang kemungkinan sudah keluar bandara. Tapi dia mendadak berhenti saat melihat seorang wanita baru beranjak keluar dari bandara dengan menarik sebuah koper.
Wanita itu mengenakan kemeja putih yang rapi dimasukkan dalam rok span selutut. Seperti seragam kantoran. Sebuah tas selempang berwarna biru laut tersandar di bahunya. Warna yang senada dengan warna matanya. Rambutnya yang hitam legam sudah tumbuh panjang, sepanjang punggung, dan bergelombang. Kakinya yang beralaskan pantofel, menuruni tangga pendek dengan hati-hati sambil membawa kopernya. Dia lalu kembali berjalan sambil menoleh kiri kanan, seperti mencari seseorang, untuk kemudian berhenti bergerak saat matanya bertemu pandang dengan pria tadi.
Keduanya seolah berhenti mencari. Mereka terdiam, sebelum akhirnya berjalan perlahan, saling mendekat.
Angin berhembus saat keduanya berhenti tepat berhadapan. Membuat daun-daun kecoklatan dari pohon besar yang berada tak jauh dari mereka berdiri, gugur ikut terbawa angin. Mereka bersitatap, meneliti wajah satu sama lain.
"Arza." Wanita itu angkat bicara mengusir hening yang menyergap, membuat pria di hadapannya kemudian tersenyum.
"Abil," balas pria itu. Arza menarik salah satu sudut bibirnya, lekat menatap tiap gurat wajah di hadapannya.
"Nggak seganteng yang kubayangin," ucap Arza. Abil terkekeh.
"Dulu aku emang lebih ganteng. Mungkin," kelakar Abil. Arza manggut-manggut seolah paham, meski dengan bibir mengerut, menahan tawa.
"Kegantengannya udah luntur ya?"
Celetukan kecil Arza membuat tawa pelan pecah di antara keduanya. Tapi kemudian, garis wajah Abil berubah. Dia tersenyum lembut dan matanya menatap ke mata Arza dengan pandangan yang tidak terdefinisikan.
"Kamu lama," ucap Abil pelan. Arza mengangkat salah satu alisnya.
"Lama nunggunya? Capek?" tanya Arza. Untuk sesaat, Abil tidak merespon, sebelum akhirnya mengangguk. Sambil tetap menatap lekat pada bola mata biru di depannya.
Respon Abil membuat Arza kembali tertawa pelan.
"Bohong. Tadi aja aku masih sempet liat kamu ngos-ngosan," ucap Arza. Matanya kemudian ikut fokus pada netra gelap Abil, membalas tatapannya yang dalam.
"Coba bilang, seberapa lama kamu udah nunggu sampe bisa-bisanya ngeluh capek," tantang Arza.
Waktu di antara keduanya seolah terhenti saat itu juga. Keramaian orang-orang dan riuhnya bandara terdengar menjauh. Suara kicauan burung seolah meremang. Seolah, hanya ada mereka berdua di dimensi waktu mereka saat itu.
Angin kembali berembus. Membelai leher mereka yang terbuka. Mengibarkan lembut poni-poni dan rambut yang tergerai. Membawa angin dingin pertanda akan datangnya musim penghujan. Menerbangkan dedaunan yang bahkan sudah jatuh mencapai tanah. Menelisik di celah antara mereka berdua.
Abil membuka mulutnya, berkata dengan yakin.
"Tujuh tahun."
Hati Arza mendadak bergetar. Darahnya berdesir. Dadanya yang selama ini seolah berlubang, hingga bisa ditembus berbagai angin dingin, perlahan diisi penuh oleh kehangatan yang meluap dan terus meluap hingga seolah akan meledak. Dia tersenyum haru, dan sebulir air bening yang hangat perlahan turun menggurat pipinya.
"Itu, pasti jadi tujuh tahun yang panjang."
___°‿°___
{[#]}.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Dimensi
Teen FictionTentang Arza, yang kehilangan alasan untuk memikirkan masa depannya. Dan tentang Abil, yang membuang masa lalunya, pun memilih persetan dengan yang namanya masa depan. Tentang mereka, yang tidak mampu lepas dari ego dan rasa, mengalahkan keberadaan...