"Hei."
Arza menoleh, lalu tersenyum melihat siapa yang datang. Pandangan kosongnya langsung menguap saat seseorang berinteraksi dengannya. Seperti yang terjadi beberapa hari belakangan.
Kakak kelas yang baru saja menyapanya itu mencari tempat, duduk di samping Arza.
"Nih, hape sama dompet lo. Tas sama bajunya masih di rumah gue sih, tapi." Nabil menyerahkan dua buah benda yang beberapa hari lalu tertinggal di rumahnya.
"Sori ngerepotin. Gaun nyokap lo juga masih di rumah gue." Arza masih tersenyum saat menerima dua buah benda yang disodorkan padanya itu.
"Nggak ngerepotin, kok. Gue malah nggak bisa bayangin gimana lo empat hari tanpa hape. Eh, apa lima ya?" ujar Nabil. Arza menghidupkan ponselnya, mengecek.
Tidak ada panggilan masuk maupun pesan. Sama sekali.
"Biasa aja. Biasanya juga nggak main hape." Arza mematikan ponselnya, lalu meletakkanya di sisinya yang kosong bersama dompet. Mengembuskan napas tipis.
"Oiya, sori gue nanya gini. Tapi, soal malem itu, Lo aduin ke bokap Lo?" tanya Nabil ragu.
"Enggak, kok. Gimana? Lo oke?" tanya Arza balik. Sementara Nabil malah menghembuskan napas lega.
"Gue nggak papa. Bokap gue cuman khawatir aja kalo bokap lo ngamuk, terus ngancurin perusahaannya," jawab Nabil disertai dengan cengiran.
"Papah gue nggak sebrutal itu juga, kali." Arza tertawa pelan. Tawa yang masih terdengar cukup menyedihkan di telinga Nabil. Cowok itu tersenyum tipis, memaklumi.
"Btw, Lo kenal sama kakak, gue? Ariza? Lo kayanya sempet ngomong sesuatu soal dia," tanya Arza saat teringat sesuatu.
"Oh itu. Iya, gue kenal. Kita temen SD. Dunia sempit, ya? Inget nggak pas kita dinner dulu? Gue kaget banget waktu Om Robert nyebut nama Ariza. Si cewek bintang kelas semasa SD. Gue bahkan masih inget jelas sama nama lengkapnya," tutur Nabil.
"Azhariza Nila E. Rosyidiana, kan?" lanjut Nabil. Arza mengangguk.
"Kalo Lo?" tanya Nabil.
"Eung, Arzahira Jingga E. Rosyidiana," jawab Arza setelah diam beberapa saat. Agak merasa malu setiap orang menanyai nama lengkapnya. Biasanya, Arza hanya akan menyebut nama depannya. Jarang sekali menyebut lengkap.
"Beda di Nila sama Jingga, ya? Nama kalian mirip, tapi wajah kalian nggak mirip. Maksud gue, kalian keliatannya nggak ada yang sama. Tapi wajah Lo sempurna ngingetin gue sama wajahnya Ariza," ujar Nabil.
"Iyalah. Gue kan adeknya," canda Arza.
"Trus, kok mata lo bisa biru? Ariza sama bokap lo padahal coklat terang. Yaa, meskipun Tante Sarah matanya item legam. Tapi, kaya nggak ada yang nurunin biru, gitu," lanjut Nabil.
"Kalok mau diurut, silsilahnya jauh. Dari garis keturunan mamah, ada riwayat gen mata biru. Sementara papah, keliatan kan ya, kalo blasteran. Nenek dari papah ini, matanya biru. Yaa, gitu deh. Dari sekian banyak perbandingan kemungkinan, munculnya malah di aku," jelas Arza. Nabil mengangguk-angguk paham.
"Ngomongin soal gen, emang selalu jadi panjang, ya. Rumit juga," komentar Nabil.
"Btw, gimana keadaan Vanya?" tanya Arza ragu setelah hening beberapa saat, membuat Nabil tersenyum.
"Dia nggak ada buat liat lo sebagai Hira waktu itu. Tapi dia drop lebih parah dari yang gue duga."
Nabil dia sebentar. "Kita udah putus," lanjutnya.
"Lo nggak keliatan, seneng," ucap Arza. Nabil tersenyum sedih.
"Siapa sih, yang seneng waktu putus sama pacar yang berharga banget buat lo," ujar Nabil.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Dimensi
Teen FictionTentang Arza, yang kehilangan alasan untuk memikirkan masa depannya. Dan tentang Abil, yang membuang masa lalunya, pun memilih persetan dengan yang namanya masa depan. Tentang mereka, yang tidak mampu lepas dari ego dan rasa, mengalahkan keberadaan...