Chapter 12

70 23 102
                                    

Angin malam mengembus tubuh Arza. Bau tanah dan rintik hujan menemani kesendiriannya. Gorden putih transparan yang menggantung di pintu kaca—pembatas antara kamar dengan beranda—berkibar-kibar, menari bersama sang angin.

Lengan Arza yang sedari tadi memeluk lutut yang ditekuk di atas kursi, terulur. Jemarinya meraih gagang mug bergambar gajah berwarna pink yang berisi coklat panas. Mug yang sudah ia gunakan sejak ia masih bocah dulu.

Arza menyesap coklat itu, merasakan kehangatan melewati kerongkongan. Mengalir, hingga bermuara di perut. Menghangatkan.

Arza meletakkan lagi mug di atas meja bundar di depannya. Tangannya membetulkan selimut yang menyelimuti kedua kaki yang ada di atas kursi sambil menyamankan duduknya. Mengabaikan suara langkah kaki yang mendekatinya.

"Arza."

Hati Arza menghangat mendengar suara itu, sehangat perutnya yang baru saja menampung coklat panas. Dua buah lengan tiba-tiba melingkar di lehernya.

"Nggak dingin?"

Arza tersenyum tipis. Salah satu tangannya terangkat, meraih lengan di lehernya.

"Arza kan pake selimut, Mom."

Lengan di leher Arza mengerat, melindungi leher Arza dari dinginnya angin malam yang bercampur dengan hujan.

"Kapan kamu bakal berubah jadi Arza lagi, Sayang?"

Arza bisa mendengar suara mamanya menyendu. Ujung dagu mamanya menyentuh puncak kepalanya lembut, sesekali menciumnya penuh rindu.

"Arza berusaha, Mom. Mungkin, di Cina nanti bakal Arza coba. Sedikit-sedikit. Arza nggak bisa kalo langsung banyak," ucap Arza tak yakin. Arza tau mamanya mengangguk pelan, terasa dagunya bergerak di puncak kepala Arza.

Arza suka saat-saat seperti ini. Saat-saat melow bersama mamanya. Saat-saat saling mencoba mengerti satu sama lain dengan mamanya. Meski jika mereka bertemu lagi nanti, mamanya akan berubah. Seolah pembicaraan mereka berdua tidak pernah benar-benar ada.

Saat mamanya mulai sibuk lagi dengan urusan pekerjaannya, mamanya itu akan mulai kehilangan sosok ibu seperti saat ini.

Apalagi saat ada papanya. Tidak pernah mama Arza jadi seperti ibu. Sikapnya profesional sebagai wanita karir, atau malah kadang kekanak-kanakan pada Arza, seolah mereka seumur. Kadang Arza curiga, mamanya mempunyai kepribadian ganda.

Arza memejamkan mata. Tapi itu tidak mungkin.

"By the way, dari tadi handphone Arza hidup. Kayanya ada yang telepon."

Arza melirik ke dalam kamarnya, menatap lewat ujung mata ke sebuah ponsel yang tergeletak di kasur. Ponsel itu hidup, meski kemudian mati. Dan sebentar kemudian hidup lagi. Arza kembali menatap ke depan, menatap rintik hujan.

Tak perlu menilik. Arza tau siapa pelakunya.

___°^°___

Abil menyentuhkan jemarinya ke kaca jendela kamar yang dingin. Telunjuknya bergerak, mengikuti garis yang digurat air hujan dari luar.

Abil menggigit bibir, lalu menurunkan sebelah tangannya yang sedari tadi menempelkan ponsel ke telinga. Jempolnya bergerak, mencoba menelepon lagi orang yang sejak tadi dia coba untuk hubungi.

Helaan napas keluar dari mulutnya, menciptakan kepulan asap tipis tak kentara yang langsung menghilang bersama udara.

Yang lo bilang tadi apa maksudnya, Za?

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang