Chapter 2 (part 3)

149 31 33
                                    

"Demi apa gue punya temen ganteng tapi bego," ucap Kribo. "Nggak peka, lagi." lanjutnya.

Kemudian bel masuk berbunyi.

___°^°___

Arza membetulkan letak tulang-tulang punggungnya sambil berjalan menuju indoor sporthall nya. Permainan tadi kacau sekali. Dede sama temen-temennya sudah bisa di pastikan nggak bisa main bola. Berhubung yang cewek sudah selesai ambil nilai, sekarang mereka bergantian dengan yang cowok untuk bermain basket sementara para cowok ambil nilai sepak bola di lapangan belakang.

Omong-omong, jangan salahkan Arza kalau dia pegal cuma karena main sepak bola selama dua kali sepuluh menit. Mau bagaimana lagi, cuma dia yang main.

Pertama, temen setimnya nggak ada yang benar-benar bisa diandalkan, jadi dia bagi tugas semenguntungkan mungkin. Ada satu cowok, Abil, dan dia sama sekali tidak berguna. Padahal tadinya dia mau setim sama Kribo aja, lumayan dia main sepak bolanya.

Penilaian tim cewek kok ada Abil sama Kribo? Iya, soalnya kasian sama cewek, jadinya di setiap tim di pasang satu cowok buat bantuin. Dan entah apa, mungkin memang takdirnya begitu, Arza berbeda tim dengan Dede.

Arza tersenyum puas sewaktu lihat wajah Dede jadi beneran mirip lampir sewaktu tahu Abil masuk timnya, tapi sesaat kemudian dia menyesal. Arza tahu Abil tidak bisa main bola.

Lapangan indoor sekolah Arza seperti GOR di ukuran minimalis. Tribunnya cukup diisi murid dua sekolahan. Bangunannya memang dibuat untuk kepentingan pertandingan persahabatan antar SMA yang diadakan tiap tahun di sekolah ini.

Arza berjalan pelan memasuki lapangan itu. Lapangan basket entah kenapa punya aura yang sama dengan lapangan basket lainnya. Membuatnya mendadak teringat masa lalunya.

Sementara Abil membagi tugas, telinga Arza sempurna tidak mendengarkan. Dia tahu betul, meski banyak yang tidak bisa main futsal, tapi mereka sedikit banyak tau basket. Walaupun hanya dasar-dasarnya saja.

"Aku... main di belakang," ucap Arza dengan wajah yang kelihatan tidak fokus.

Abil mengangkat salah satu alisnya, "Baguslah lo nyadar diri. Barusan gue mau bilang tempat lo dibelakang," katanya meremehkan. Tapi Arza sepertinya tidak dengar karena dia berbalik pergi begitu saja, tanpa merespon, membuat Abil menggeram kesal.

Padahal tadinya Abil mau membalas perlakuan Arza selama di lapangam bola tadi. Ia gemas sendiri mengingat bagaimana Arza meremehkannya karena tidak bisa main sepak bola. Untung dia sempet berkelit sehingga reputasinya di depan cewek-cewek yang lain tidak hancur.

"Kenapa Arza? Perasaan tadi dia semangat banget," komen salah seorang anak sambil menatap Arza yang lagi minum.

"Eh, denger-denger sih, ya. Dulu Arza jago basket," kata anak yang lain. Abil menatap datar temannya itu, yang merupakan bagian dari tim cheerleader.

"Ada ya, info yang bisa di gali dari introvert kayak dia," kata Abil sinis. Anak cheerleader itu mengangkat bahu.

"Tetangga gue pernah jadi temen dia sejak lama. Katanya sih, katanya doang ya, Arza punya kenangan buruk soal basket. Katanya buruk banget," ucap anak itu. Dia memperhatikan wajah Arza yang memang berubah keruh, kontras sekali dengannya di lapangan sepak bola tadi yang penuh semangat.

"Hush hush, Lo pada malah ngajarin gue nggosip ye. Mana gue cowok sendiri lagi. Sana sana, siap di posisi," usir Abil. Cewek-cewek itu tertawa lalu siap di posisinya masing masing.

Permainan dimulai. Abil bermain dengan sangat baik. Sama halnya dengan Kribo.

Mereka memang rival sepadan sejak pertama kali mereka kenal basket. Siapa yang lebih hebat? Entahlah. Mereka berdua sama-sama sudah diakui senior mereka di tim basket SMA, walaupun semester satu mereka di kelas sepuluh bahkan belum lewat.

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang