Chapter 12 (part 3)

79 21 161
                                    

"Lo oke?" tanya Nabil. Arza mengangguk tak jelas. Jiwanya seperti masih tertinggal di aula utama pesta. Nabil mengembuskan napas prihatin, lalu membuka pintu yang ada di sampingnya.

"Masuk dulu."

Nabil memperlebar bukaan pintu, mempersilahkan Arza masuk. Arza hanya menurut, berjalan dengan sedikit linglung, yang langsung Nabil arahkan menuju ke dekat jendela. Memintanya duduk di sebuah kursi yang dengan sigap dia siapkan.

Lagi-lagi, Arza hanya menurut. Dirinya masih berusaha menetralkan degup jantungnya yang terpacu. Dan otaknya masih berusaha meluapkan panas yang tiba-tiba memenuhi rongga kepalanya.

Suara rintik hujan secara spontan membuat Arza menoleh. Matanya mengerjap, lalu menajam sesaat, berusaha mencari bukti tetes air dalam kegelapan di luar jendela. Tak butuh waktu lama, ratusan bayang tetes air ditangkap retina matanya. Bulir-bulir air mulai mengalir, menggurat bagian luar kaca jendela.

Angin dingin bergerak masuk, menelisik melalui ventilasi. Membawa bau tanah basah. Membuat tubuh tegang Arza perlahan rileks, membuat dadanya berhenti bergemuruh. Meski kemudian terasa amat sangat sesak. Pandangannya memburam bersamaan dengan kelopak matanya yang memanas dan perih.

Arza menggigit bibir, berusaha menahan bulir air di pelupuk matanya. Pita film otaknya sepertinya sudah kembali berputar dengan normal, membuat rongga dada Arza terasa sangat nyeri menyadari apa yang baru saja dialaminya. Jantungnya kembali memacu cepat, bersamaan dengan napas Arza yang mulai menjadi pendek.

"Arzahira."

Arza tersentak. Butir air di pelupuk matanya jatuh tanpa meninggalkan bekas di pipi.

"Arzahira. Hira. Kelas 10. Pandai melukis. Putri kedua Om Robert sama Tante Sarah. Adiknya Azhariza," eja Nabil, membuat Arza mematung.

"Benar, kan?"

Arza perlahan menoleh. "Se ... jak ... ka ... pan?" tanya Arza dengan terbata di sela isakannya yang tertahan.

"Belum lama," jawab Nabil. Dia berjalan mendekati kasurnya.

"Waktu lo nggak sengaja ngelewatin gue, gue yakin, di ujung mata gue, gue nangkep warna lain mata Lo." Nabil mengempaskan pantatnya ke kasur. Kedua tangannya menyangganya di sisi-sisi tubuh.

"Waktu lo lagi lari, dan gue liat dari belakang, gue langsung keinget sama seorang anak yang gue liat beberapa tahun lalu. Punggung kalian sama. Kalian orang yang sama." Nabil diam sebentar, lalu melirik Arza.

"Reis, kan?"

Tubuh Arza menegang. Nama itu. Sebentar kemudian, tubuhnya berguncang. Arza memalingkan wajahnya dari Nabil. Perasaan marah dan kesedihan yang selama ini dia pendam, entah kenapa mendadak meluap.

"Belom lama ini, gue denger hubungan lo sama Abil. Sorry ya, kalo dia sebrengsek Reis. Nggak cuma sodara, mereka emang udah deket dari kecil. Kayanya, emang agak wajar kalo mereka jadi mirip," ucap Nabil. Matanya memandang kosong ke arah pojokan atas dinding kamarnya.

Arza mungkin saja sudah tidak mendengarnya. Telinganya berdenging. Kepalanya terasa sangat berat dan pening. Dadanya terasa amat penuh, hingga seolah akan meledak.

Seluruh perasaan Arza bercampur aduk. Sedih, kecewa, marah, sakit, dendam, ketakutan, kekhawatiran.

Semua kejadian dua tahunan lalu diputar kembali oleh otaknya. Terasa sangat nyata, seolah itu masih baru kejadian kemarin sore. Juga seluruh kenangan merah jambu yang belum lama ini dia rajut dengan Abil, dan apa yang baru saja dilakukannya.

Rasanya seperti ada sebuah jarum besar tak terlihat menusuk Arza, tepat di dadanya. Menembus tubuhnya yang kini terasa sangat rapuh.

Arza menunduk, menjerit tanpa suara. Tanpa aba-aba, air mata Arza mulai mengalir turun. Membuat garis-garis sungai di pipinya. Membanjiri wajahnya yang terlihat menyakitkan.

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang