Chapter 11

58 18 123
                                    

Abil memainkan kunci di tangannya. Dia berhenti saat mendengar seru-seruan dari dua orang yang suaranya tak asing. Jelas bukan ayah dan ibunya, karena mereka sedang keluar mengurus beberapa hal untuk acara di rumah mereka dua minggu lagi.

Abil melewati pintu depan, dan menemukan dua orang itu adu mulut dengan seru di ruang tengah. Nabil, dan Vanya.

Abil berhenti memainkan kunci, memasukkannya ke dalam saku. Rahangnya mengeras melihat bagaimana Vanya membentak Nabil dengan raut terluka, tapi abangnya itu hanya membalas dengan tenang. Meski nadanya sedikit ditinggikan.

Abil mengembuskan napas kasar, menahan diri, lalu mengangkat kedua tangannya untuk menutup telinga. Dia berbelok, berjalan menuju kamarnya. Mood-nya sedang bagus sejak dari taman kota tadi. Dia tidak mau apapun mengganggu mood baiknya kali ini.

Abil berjalan ke kamar, lalu menutup pintunya rapat-rapat. Dia mengempaskan diri ke kasur. Musik dari ponselnya dihidupkan keras-keras, menulikan telinganya dari pertengkaran dua orang penting di ruang tengah. Abil memejamkan mata, sambil berbisik dalam hati.

Semoga Bang Nabil keceplosan bilang putus. Biar cepat putus tuh, mereka.

___°^°___

Arza mengerjap. Langit-langit kamarnya masih tidak berubah. Memang apa sih, yang dia harapkan?

Arza mengerjap lagi. Tangannya bergerak, menurunkan ritsleting jaket. Dia mengembuskan napas.

Jahat. Kok aku nggak jahat? Kok sekarang aku malah temenan sama Abil? Kok ngeselin, sih? Kok aku bisa temenan?

Astaga! Mana tadi hampir keceplosan curhat juga, sama si Abil. Dih, Arzaa! Nggak boleh gitu!

Arza nggak boleh baik. Za, jangan baik! Ntar kamu dimanfaatin, sama kayak pas di OSIS SMPmu dulu!

Duh, aku nggak boleh baik. Nggak boleh! Tapi Abil udah baik, nggak enak kalo nggak tak bales.

No, no! Jangan lembek. Kalo lembek, bisa di tusuk dari belakang. Kaya, huft. You know laa. Tch! Jangan diinget-inget. Jangan diinget-inget.

Tapi, deket sama Abil banyak resikonya. Mantannya kan, banyak. Bisa-bisa ntar aku dilabrak. Apalagi kan, peranku cuma jadi cewek culun kutu buku. Ntar aku dibully, lagi.

Apa aku udahan aja pura-puranya? Nggak usah sok-sokan jadi nerd lagi? Eh, nggak nggak! Kalok aku balik kayak dulu, bakal banyak lagi orang munafik kayak Reis. Terus gimana?

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang