Arza mengerutkan kening saat melihat seseorang yang sepertinya dia kenal, berjalan berlawanan arah dengannya.
"Lo ..." sapa Arza setengah memastikan, membuat cewek berkuncir kuda di depannya mengangkat wajah dari ponsel yang sedang dia otak-atik.
"Oh!" Cewek itu membulatkan mulutnya, lalu menurunkan ponsel dan lanjut berjalan mendekati Arza.
"Lo, Rain, kan?" tanya Arza setelah jarak mereka cukup dekat untuk berbicara. Cewek yang disapa Arza itu mengejap, lalu memiringkan kepalanya.
"Lo tau gue?" tanya cewek yang Arza sebut bernama Rain itu. Arza memanyunkan bibirnya.
"Lo itu stalker, ya? Ngikutin gue mulu," ucap Arza.
"Ha?" Mata Rain jatuh tepat ke mata Arza dengan pandangan bingung.
"Dulu SD barengan. SMP ketemu juga. Lah, SMA sesekolah lagi, masa?!" ucap Arza memperjelas.
Wajah Rain yang terlihat manis dengan sorot mata polos, mengejap sekali, lalu nyengir.
Arza baru sadar sekarang—ternyata wajah Rain adalah tipe wajah yang sangat diinginkannya—saat memperhatikan wajah Rain lebih dekat. Dulu, dia hanya sempat melihatnya sepintas lalu. Bentuk wajah oval dengan dagu seperti ujung telur. Bibirnya tipis dengan mata beralis tebal. Dengan bulu mata yang lentik.
"Oh, itu. Hehe, gue juga kaget. Kok bisa ya kita sesekolah lagi?" ucap Rain, masih bertahan dengan cengirannya.
"Tapi gue lebih kaget lagi, sih, waktu tau lo menyadari eksistensi gue. Secara ya, lo Arza. Gue Rain. Hehe, gue kan nggak kasat mata gitu buat seorang Arza," lanjut Rain sambil terkekeh, membuat Arza mendengkus.
Pasti yang dimaksud Rain adalah masa-masa akhir SD hingga awal SMP. Masa-masa Arza sedang populer-populernya. Sebelum kemudian menghilang tanpa jejak.
"Yaa, gimana gue mau nggak nyadar? Elo nih, ngikutin gue mulu. Sampe gue pindah sekolah juga lo ikutin," ucap Arza sambil memutar bola mata.
"Pindah sekolah? Pas SMP maksudnya?" tanya Rain.
"Lo udah se-SD sama gue harusnya taulah. Kapan coba, gue pindah sekolah, selain pas SMP?" Arza balas melontarkan pertanyaan. Sementara Rain mengangkat bahu.
"Fyi, gue nggak pindah sekolah waktu SMP. Gue tetep sekolah di SMP lama lo, kok. Menyibukkan diri dengan nge-fake friend-in fake friend lo," ucap Rain santai. Arza menyipitkan mata.
"Lo apain dia?" tanya Arza tak senang.
"Sans, nggak gue apa-apain. Cuma sedikit dituntun ke jalan yang benar. Lo bisa tanya ke Zidni soal apa yang dia alami selama sisa waktunya di SMP lama Lo," jawab Rain.
"Gue maunya tanya sama lo," ucap Arza.
"Masalahnya, kalo lo tanya ke gue, gue udah lupa. Gue ini emang punya sindrom pikun," balas Rain tanpa dosa. Membuat Arza menyesal bertanya.
"Btw, lo deket sama Zidni?" Arza bertanya lagi, seolah belum jera meski sempat merasa menyesal bertanya pada cewek di depannya yang katanya pelupa.
"Well, gue aslinya nggak yakin sih, Zidni orangnya yang mana. Udah gue bilang gue pelupa. Tapi yakin deh, dia kenal sama gue. Umm, kalo nggak salah, Zidni tu yang Heri poter kan?" Rain bertanya lebih ke dirinya sendiri di kalimat terakhirnya.
"Heri poter?" Arza membeo.
"Itu tuh, yang kacamatanya gede kayak tempat lo. Tapi lebih bunder," ucap Rain sambil menunjuk ke kacamata Arza.
"Serah." Arza memutar bola matanya, lagi.
"Tapi, lo yakin nggak pindah SMP, Rain? Lo beneran nggak ngikut pindah ke SMP baru gue?" tanya Arza sambil menerawang, mencoba menggali beberapa memori.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Dimensi
Teen FictionTentang Arza, yang kehilangan alasan untuk memikirkan masa depannya. Dan tentang Abil, yang membuang masa lalunya, pun memilih persetan dengan yang namanya masa depan. Tentang mereka, yang tidak mampu lepas dari ego dan rasa, mengalahkan keberadaan...