Chapter 9

84 20 125
                                    

Abil nyengir tanpa rasa bersalah melihat gurunya memijit kening dengan raut frustasi.

"Nilaimu turunnya terlalu drastis, Abil," ucap Ibu Guru setelah berdecak pelan. Memecah keheningan di antara mereka yang sudah berlangsung beberapa saat sejak kedatangan Abil.

"Kamu tau, kan, seminggu lagi UTS—"

"Saya bakal berusaha sebaik mungkin di UTS, Bu!" balas Abil cepat, membuat sang guru melotot. Beliau menarik sebuah kertas dari meja di belakangnya lalu menunjukkannya secara gamblang pada Abil.

"Dari sejak ulangan harian pertamamu, nilaimu terus-terusan turun. Dan ini! Yang paling mengerikan," ucap Bu guru gemas.

Abil kembali nyengir tanpa dosa melihat kertas ulangannya yang penuh coretan tinta merah di mana-mana. Terlebih, sepasang angka di dalam lingkaran besar yang terlihat jelas. Membuat cengiran Abil justru semakin lebar.

Bu guru menghela napas pelan. Setelah mengembalikan kertas itu ke meja di belakangnya, beliau menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Bersedekap. Menatap Abil dengan pandangan mengintimidasi.

Abil menelan ludah menatap bu gurunya dengan jilbab lebar yang kali ini menatapnya seolah dia adalah penjahat. Abil mempertahankan kedua tangannya yang saling bertaut, berdiri dengan sikap sopan.

Nggak Arza, nggak Bu In. Padahal ya kayanya mereka tu tipe-tipe yang nggak bisa galak. Arza culun, Bu In syar'i. Tapi kok ya matanya sama-sama tajem. Apa orang-orang yang keliatan lemah kayak mereka emang punya mata tajem?

Bu Guru itu, Bu In, mendengkus.

"Abil!? Kamu masih sama saya? Badanmu di sini tapi kok nyawamu kayanya melayang nggak tau kemana," tegur Bu In. Dan lagi, Abil kembali nyengir.

"Bagian mana yang nggak paham, Abil? Kenapa kamu nggak tanya sewaktu ada kesempatan buat tanya? Apa cara mengajar saya masih kurang jelas?" lanjut Bu In.

"Ah, nggak! Nggak gitu, Bu. Saya emang akhir-akhir ini rada nggak fokus aja," sanggah Abil.

Pas ulangan saya nggak belajar, Bu.

Bu In menaikkan kedua alisnya.

"Pacar," celetuk Bu In.

"Apa?"

"Nggak fokus karna pacar, kan?"

"Apa? Astaga! Enggak, Bu!" Elak Abil.

"Kamu gugup." Bu In menyipitkan mata.

"Enggak, Bu! Beneran. Percaya, deh. Suwer!" Abil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Abil. Kamu masih kelas satu. Semester satu bahkan belum selesai. Setengahnya aja belum kelewat. Jangan sia-siain waktu kamu. Terlalu berharga buat dipake pacaran," ucap Bu In. Abil menunduk sedikit.

Nggak pacaran kok, Bu. Pacar terakhir saya udah saya putusin setengah bulan lalu.

"Apa kamu mau saya privat?" pertanyaan Bu In membuat Abil spontan menggeleng tegas.

"Saya bakal belajar sendiri, Bu!" ucap Abil.

"Nggak bisa, Abil. Saya nggak percaya kamu bakal belajar kalok sendiri. Ck! Yang penting besok Kamis kamu remidi dulu. Kalok masih belum tuntas, kamu akan saya privat sampai UTS mata pelajaran saya lewat." Bu In menyerahkan paksa kertas ulangan Abil ke genggaman tangan muridnya, membuat cowok itu mau tak mau menerima. Sementara Bu In sudah memutar kursi menghadap mejanya, membelakangi Abil.

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang