Chapter 8 (part 3)

88 21 137
                                    

"Lo nggak takut tinggi lagi ternyata," ucap Arza sambil merapikan kaosnya.

Abil melompat dari tangga besi terbawah yang memang tidak mencapai tanah.

"Mayanlah. Seenggaknya gue bisa nikmatin tanpa mikir yang aneh-aneh lagi," balas Abil.

"Ayo! Udah hampir," ucap Arza setelah mengecek jam tangannya.

"Loh? Nggak mau makek mobil?" tanya Abil saat Arza mulai jalan ke arah sawah, arah yang tidak menuju ke tempat mobil yang dia parkirkan di depan gallery.

"Ngapain? Cuma deket, juga. Nyesek-nyesekin jalan, aja. Eh, tapi Lo mau balik ko mobil? Gue minjem jaket, dong." Arza berhenti dan berbalik menatap Abil yang masih diam berdiri.

"Gue nggak pengen ke mobil," ucap Abil sambil menurunkan kelopak matanya setengah, menatap Arza datar.

"Ambil, atau pulang." Arza ikut-ikutan menurunkan kelopak matanya setengah. Balas menatap Abil dengan tatapan yang lebih datar.

Abil menyipitkan matanya, lalu mendengkus. Dia bergegas kembali ke mobilnya. Meninggalkan Arza yang perlahan mendongak dan tersenyum tipis.

Arza mendadak teringat kenangan lamanya. Dia pernah mencoba bunuh diri dengan terjun dari atas gallery. Dan Ariza menggagalkannya. Lalu mengajaknya ke hutan. Kemudian tersesat.

Beruntung mereka bisa kembali. Kalau tidak salah, karena mereka mengikuti arah matahari tenggelam. Terus berjalan ke arah langit merah di barat.

Arza menghela napas. Alasan sebenarnya dia nyaris memutus hidupnya, bukanlah karena orang tuanya yang seperti pilih kasih antara Arza dan Ariza. Itu hanya titik puncak, seperti angin yang berhembus di atas api. Membuatnya semakin besar.

Alasan sebenarnya sudah muncul jauh lebih lama sebelum Ariza akan pindah dan membuat orang tuanya lebih banyak memperhatikan kakaknya itu. Alasan sebenarnya adalah karena teman-temannya.

Masa SD.

Arza tertegun saat bayangan masa-masa itu berkelebat tak kentara di matanya. Itu adalah masa-masa yang berat baginya. Menjadi dikucilkan. Dan di-bully. Hanya karena matanya yang berbeda. Dia dianggap monster.

Benar kata orang. Manusia tidak suka melihat seseorang yang terlihat berbeda dari mereka.

Dan beruntung ada Difa. Meski tidak pernah benar-benar membantu, tapi perempuan itu selalu tersenyum ke arahnya. Dan di luar sekolah mau bicara dengannya.

Dan beruntung pula ada Zidni. Meski tak kentara, Arza tau Zidni memperhatikannya. Dengan pandangan yang tidak sama seperti teman-temannya yang lain. Pandangan yang Arza tahu, Zidni menerima keadaannya. Tidak menganggapnya monster atau semacamnya.

Dan beruntung, ada Reis.

"Nih."

Lamunan Arza terhenti. Dia menurunkan wajahnya dan menemukan Abil menyerahkan sebuah jaket abu-abu.

"Ngapain lo ngeliatin ke atas?" Abil mendongak, mencari tau apa yang menarik perhatian Arza.

"Nggak papa." Arza cepat-cepat mengambil jaket yang di sodorkan Abil, lalu memakainya.

"Lah? Gede amat." Arza mengangkat kedua lengannya yang buntung oleh lengan jaket yang kini menggantung-gantung.

"Njir, Lo kecil juga ternyata." Abil tertawa melihat Arza yang tenggelam dalam jaket abu-abu besar miliknya. Tubuh Arza ternyata lebih kecil dari yang dia pikir. Biasanya besar tubuh Arza tidak kentara, efek dari busana yang dipakainya. Dan sekarang Arza jadi terlihat sangat mungil.

"Ck, diem Lo! Ayo jalan!" Arza menutup hidung dengan lengannya, lalu berjalan dengan diikuti Abil di belakangnya.

Jalanan yang mereka lewati bukan jalanan besar, tapi cukup ramai. Abil memperhatikan rumput-rumput kering di pinggir jalan yang dilewatinya.

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang