Chapter 14

38 17 101
                                    

Angin dingin berembus, menampar tubuh Arza yang hanya berbalut kaos dan celana kain. Dia bergidik sebentar, merasa dingin, tapi enggan bergerak dari tempatnya saat ini.

Malam ini, suara binatang malam tidak terdengar. Hanya gemerisik daun yang diterbangkan angin yang menemani. Langit berwarna abu-abu kelam, membawa kumulus tebal yang akan mendatangkan hujan.

Arza bergerak menarik kedua lututnya, memeluknya. Badannya bergoyang pelan ke kiri dan ke kanan. Entah hatinya menyenandungkan apa.

Meski Arza merasakan kehampaan yang luar biasa, seolah semesta merenggut semua yang dia rasa, tapi tidak bisa Arza pungkiri. Di ujung hatinya, terasa secercah perasaan lega.

Arza, tidak pernah bertemu Reis setelah kejadian dua tahunan lalu. Semua perasaannya sejak saat itu terus menumpuk, hingga sukses berubah menjadi emosi negatif yang kemudian menjadi pedang bagi dirinya sendiri.

Tapi setelah bertemu Reis malam itu, memeluknya untuk yang pertama dan terakhir kalinya, Arza merasa lega. Seluruh perasaannya pada Reis seolah menguap begitu saja.

Arza tidak lagi merasa benci pada Reis. Dia juga tidak merasa suka lagi dengan Reis. Dia merasa, biasa saja. Nama Reis juga tidak lagi menggetarkan hatinya. Itulah kenapa Arza bingung. Sebenarnya, apa yang hilang darinya? Karena dia tidak merasakan apapun lagi pada Reis. Dia tidak merasa rindu. Tidak merasa sesal. Sesak. Benar-benar tidak merasakan apapun untuk Reis.

Tapi dari situ, satu kesimpulan yang dapat Arza tarik. Saat dia mulai menerima Reis, saat itu juga hatinya akan mulai melupakan bagaimana caranya bergetar saat nama itu disebutkan.

Malam ini, pikiran Arza tidak kosong. Tidak sama seperti malam-malam sebelumnya. Arza memikirkan banyak hal. Memikirkan Abil dan kenangannya, memikirkan Reis dan kenangannya. Benar, Reis. Meski entah kenapa nama Abil terselip.

Arza menatap langit yang kelabu. Beberapa kilau bintang terlihat mengintip. Membuat titik garis di langit malam yang sepertinya akan menurunkan hujan.

Malam ini, Arza ingin menyelesaikan semuanya tentang Reis. Dia ingin menyelesaikan ingatannya. Dia ingin menyudahi hatinya yang terkadang masih berbisik, bagaimana Reis adalah masa lalu yang penting baginya.

Ya. Reis penting. Adalah dia, yang membuat Arza ada dan hidup hingga sekarang. Dia adalah pahlawannya, yang membuatnya berjanji pada hati untuk tidak akan bunuh diri lagi. Meski pada akhirnya, justru Reis yang membuatnya berpikir untuk tidak ingin hidup lagi.

Arza ingin memutar kenangan itu. Kenangan yang dulu terasa menakutkan saat dia mengalaminya. Terasa manis saat Reis di dekatnya. Terasa pahit saat Reis pergi darinya. Dan terasa sakit saat ia mencoba mengingatnya.

Otak Arza mulai berputar, menjelajah memori kembali ke masa lalu. Malam ini, Arza akan mengingatnya. Untuk terakhir kalinya, dia akan mengingatnya. Dan dia tidak akan membawa kenangan apapun lagi tentang Reis.

Arza, akan pergi dari tempat ini. Dan meninggalkan segala tentang Reis di tempat ini.

Dan kenangan yang diputar otaknya akhirnya tiba di titik dimana Arza tak pernah membiarkan dirinya mengingat.

Malam ini, Arza, dengan keinginannya sendiri, membuka kotak kenangan yang seperti pandora baginya. Demi untuk melepaskan seluruh perasaannya pada dia, tokoh utama dalam kenangan itu.

Arza memejamkan mata. Mulai memainkan ingatannya yang masih terasa jelas di pelupuk mata. Bibirnya tertarik. Tersenyum. Menikmati hatinya yang perlahan teriris. Tercacah. Bahkan seolah mengeluarkan darah.

___°^°___

(Setelah percobaan pertama bunuh diri yang digagalkan Ariza)

3 DimensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang