"Nik."
Abil menoleh.
"Thanks ya, udah anterin gue. Padahal lo-nya tadi lagi ada urusan."
Abil tersenyum pada perempuan berwajah sembab di depannya.
"Bukan urusan yang bener-bener penting, kok." Abil mendekati Vanya yang berusaha memaksakan senyum untuknya.
"Pokoknya, kalo ada apa-apa, langsung hubungi gue. Gue masih belom tau apa yang bikin Ziko berubah, sorry." Abil memegang kedua pundak Vanya dan sedikit membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan cewek itu.
"Nggak papa, Nik. Lo juga mesti sibuk, kan? Gue yang egois di sini, tapi kayaknya gue masih belum pengen berhenti jadi egois. Sorry," ucap Vanya.
"Gue suka, kok. Jadi jangan berubah. Tetep jadi Vanyaku yang egois." Abil menatap mata Vanya lekat.
"Dah, jangan nangis lagi. Mungkin Ziko lagi ada acara di sekolahnya makanya abai sama Lo," ucap Abil menyemangati orang di hadapannya, tapi ucapannya itu justru menjadi pedang bagi perasaannya sendiri. Menenangkan Vanya dengan membawa-bawa nama Ziko selalu membuat hatinya sakit.
Kenapa nama Ziko yang membuat Vanya tenang? Kenapa tidak cukup dengan kehadiran Abil?
Vanya mengangguk-angguk, membuat poninya yang mendatar sebatas alis bergerak-gerak pelan. Abil tersenyum, lalu melepaskan tangannya dari pundak Vanya.
"Gue pulang, masuk sana." Abil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana abunya.
"Bye, Niko. Salam buat Ziko." Vanya mengangkat tangannya singkat, sebelum berbalik dan masuk ke rumahnya. Abil tersenyum tipis, mengamati hingga pintu rumah itu tertutup. Lalu berbalik sambil menggigit bibir.
Sayang, salam Lo nggak akan pernah sampe ke Nabil, Van.
___°^°___
"Oy, Bro!" Kribo merangkul bahu Abil ketika sobatnya itu memasuki gedung sekolah dari arah tempat parkir.
"Waktu berangkat sendiri, lo berangkat lebih pagi ya, Bo," cibir Abil tanpa mengelak dari rangkulan Kribo.
"Iya, dong. Yang selama ini bikin gue berangkat siang kan Elo, Bil," tegas Kribo dengan senang hati.
"Cih," decak Abil pelan.
"Rupa lo kusut banget, sih?" tanya Kribo.
"Lo mau minta gue ketawa-ketiwi sehabis semobil sama Nabil?" jawab Abil dengan pertanyaan.
"Btw, gimana kemaren? Aish, lo nggak cerita-cerita." Kribo melepaskan rangkulannya, mengalihkan topik suram.
"Lo tau? Semalem gue nggak bisa tidur nungguin lo nelpon, trus teriak-teriak kegirangan. Eh nggak taunya hp gue diem mulu sampe malem. Kaya benda mati," ucap Kribo.
"Anjay! Lo kayak nunggu telpon dari gebetan aja. Lagian ya hape itu kan, emang benda mati, bego!" tukas Abil.
"Bo.do! Gimana gimana? Kemaren ceritanya? Lo disalahin nggak pas dia jadi gendutan?" tanya Kribo jail.
"Ck! Diem Lo. Kemaren tuh ya, sukses. Dah gitu," jawab Abil singkat.
"Gitu doang? Lo apain?" tanya Kribo.
"Gue ajak ke cafenya Paman Ed."
"WHAT?!" Kribo spontan berhenti di depan Abil, menghalanginya lanjut berjalan.
"Lo? Arza? Ke cafenya Paman Ed? SUM.PAH?" tanya Kribo tak percaya.
Seumur-umur, itu adalah tempat teristimewa Abil. Satu-satunya yang pernah dia ajak ke sana hanyalah Kribo seorang. Bahkan, Vanya belum pernah.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Dimensi
Teen FictionTentang Arza, yang kehilangan alasan untuk memikirkan masa depannya. Dan tentang Abil, yang membuang masa lalunya, pun memilih persetan dengan yang namanya masa depan. Tentang mereka, yang tidak mampu lepas dari ego dan rasa, mengalahkan keberadaan...