Lee Hyo Rin tidak menyangka, tragedi menyedihkan tujuh tahun yang lalu terulang. Kembali, sebagai Sangju, dia duduk diatas sebuah tikar rami kasar.
Sakitnya berkali lipat, dua kali dia kehilangan Raja rakyat Korea, suami, dan kini sang putra tercinta.
Hyo Rin memandang sedih ke arah putra bungsunya. Sejak semalam dia belum mendengar suara Donghae, putra bungsunya itu menempatkan diri sebagai orang yang paling bersalah, dia tidak bicara sedikit pun, hanya membungkuk berterima kasih pada pelayat yang datang.
Donghae duduk menunduk sunyi di sebelahnya. Hyo Rin tahu seberapa berat beban yang ditanggung sang putra. Setelah kehilangan kakak yang paling Donghae cintai, dia juga harus menggantikan kewajiban sang kakak.
Bukan lagi sebuah rahasia, Hyo Rin pun tahu Donghae tidak pernah ingin menjadi Raja. Bahkan sebelum dia benar-benar tahu apa arti menjadi seorang Raja.
Hyo Rin ingat betapa bahagianya Donghae ketika sang kakak dilantik sebagai Raja setelah 100 hari kematian suaminya.
Waktu itu air mata Donghae mengalir deras, namun bibirnya tersenyum lebar. Berkali-kali bergumam, mendoakan kakaknya, untuk panjang umur, segera menikah, dan punya banyak anak laki-laki tampan.
Siapa yang menyangka, jika doa Pangeran kecilnya dulu tidak pernah terkabul.
Tidak dipungkiri, Hyo Rin takut, sangat. Hanya Donghae yang dia miliki sekarang.
Menjadi seorang Raja Korea penuh dengan resiko. Belum lagi tanggung jawabnya yang besar.
Hatinya semakin bergemuruh, bertambah keruh, mengingat ramalan seorang biksu dari Kuil Bongeun ketika Donghae lahir ke dunia ini.
Ramalan itu menyebar cepat ke seluruh pelosok negri.
Banyak yang mengharapkan Sang Daegun menjadi Raja mereka. Namun, tidak sedikit yang menginginkan sebaliknya.
Hyo Rin sadar betul Raja kecilnya dalam bahaya besar. Dia bertekad tidak akan kehilangan satu-satunya harta yang dia miliki sekarang.
Tidak lagi.
Bersambung.
Mohon kritik dan sarannya 😊
Terima kasih 😊
Habi 🐘
KAMU SEDANG MEMBACA
The King of Two Stars (Completed)
FanfictionA Lee Donghae Fanfiction Tidak pernah kubayangkan sebelumnya, demi indahnya langit sore tadi, menawan bak lazuardi, namun sendu pada waktunya berganti malam. Nikmatnya bahagia tergantikan dengan cepat, senyum lebar yang membuat pipiku pegal dengan m...