Chapter 1

1.9K 142 8
                                    

DARREN

Srttttt....

Suara tirai di tutup, aku bisa tau jam berapa ini, yah tepat pukul 7 pagi tirai itu selalu di tutup. Ku lirik sekilas, sosok yang paling ku kenali dengan lembut menutupnya dan memastikan tak ada satu cahaya mataharipun yang masuk melalui sela-sela. Aku tak lagi bisa protes, berontak atau sekedar menghela nafas beratku... ini sudah sekitar 25 tahun aku terkurung sepi di dalam kamar. Memang, tak ada yang tak ku miliki di dalam sini. Kasur yang besar, empuk dan lembut, televisi dengan teknologi canggih yang di desain khusus tanpa radiasi, segala jenis permainan yang mungkin kalian temukan di tempat bermain, dan sudut dengan penuh dengan rak buku. Yah diantara semua fasilitas yang mentereng... sudut itulah yang paling aku sukai. Dimana semua buku tentang medis terpampang rapi. Tapi ada beberapa buku yang kini sedang aku pelajari. Agama... buku tentang Tuhanku... Allah. Mereka sering mengatakan bahwa agamaku Islam, tapi mereka tak pernah sekalipun mengajariku. Segala macam guru di datangkan untuk setidaknya membuka fikiranku, untuk setidaknya tidak membuatku frustasi di sini. Guru Matematika, bahasa inggris, bahasa prancis, IPA, bahkan olah raga. Namun sepertinya orang tuaku lupa... akan pentingnya memahami agama dalam semua itu.

wanita itu... ibuku, menghampiriku dengan pakaian sterilnya. Yah ada aturan baku di sini, setiap orang yang hendak masuk harus memastikan dirinya dalam keadaan bersih, dengan pakaian berwarna hijau, sendal khusus, sarung tangan dan penutup kepala. Bagaiaman aku belajar? Apakah guru-guruku bahkan kini aku kuliah di rumah, apakah dosen-dosenku pula melakukan hal yang sama seperti ibu? Tidak, ada kaca khusus di depan kamar, memanjang sepanjang 2M agar aku bisa melihat leluasa ke luar, dan disitu pula aku berkomunikasi dengan guru-guru, dosen dan semuanya. Rumah ini tak seperti rumah, rumah ini memang khusus ayah design untukku. Seperti halnya rumah sakit, banyak peralatan asing yang tersimpan di sekitarku, dengan prawat yang mondar-mandir melewati kamarku. Rumah ini juga menjadi tempat kerja kedua orang tuaku, sudah sekian lama mereka tidak lagi bekerja di rumah sakit, mereka membuka sendiri tempat praktek... yaitu rumah ini, rumah yang di sulap menjadi sebuah rumah sakit. Rumah sakit ini cukup ramai, hanya rumah sakit ini khusus untuk penyakit syaraf dan sekitarnya saja.

Mereka bilang, jika penyakit aneh ini menimpa seseorang, tak hanya ia terkurung dalam kegelapan, tapi wajahnyapun akan berubah menjadi vampir. Dengan gigi taring memanjang, wajah pucat pasi, dengan bintik-bintik merah. Tapi semua itu tak terjadi padaku. Tubuhku biasa saja, tak ada yang berubah, hanya putih saja... wajar bukan, jika bahkan kamu tak pernah keluar kulitmu memutih dan sedikit pucat.

Aku masih berada dalam kepura-puraan, terpejam menutupi kenyataan, mengindari sosok itu yang masih berdiri memastikan tubuhku baik-baik saja, ibu yang telaten, ibu yang tak hanya kasih sayangnya yang sampai padaku tapi segala upaya ia lakukan agar aku bahkan bisa bertahan hidup, hanya memastikan tubuh ini bernafas ia bahkan rela melepaskan segala prosepek dalam pekerjaannya, mengorbankan tenaga, waktu dan materi. Tapi satu yang bahkan tak ku rasakan, aku tak bisa menyentuhnya, aku tak bisa memeluknya dengan leluasa, aku tak bisa merasakan kasihnya lewat belaian manja seorang ibu.

Ia berlalu, aku membuka mataku perlahan, memutar tubuhku, terbaring menatap tembok dingin di sisi kananku. Belakangan aku selalu merasa bosan, padahal dalam jangka waktu bertahun-tahun aku baik-baik saja. Belakangan aku merasa sepertinya akupun ingin merasakan hal yang biasa manusia rasakan di luar sana, seperti yang kulihat di layar televisi, seperti yang kulihat di jendela kamar di malam hari, mereka yang lalu lalang dengan gembira, rasanya belakangan inj terngiang-ngiang di benakku. Apakah aku bisa seperti mereka?

Aku bangkit dari tempat tidurku, mencari-cari sebuah buku di rak buku yang mungkin jumlahnya sudah ratusan di sebelah ranjangku. Ku raih sebuah buku yang sedikit usang, buku besar yang berisi gambar-gambar sunrise dan sunset. Aku membawanya duduk di tengah-tengah ranjang. Duduk dengan sigap membuka lembar demi lembar. Buku itu selalu aku buka setiap pagi, aku tak punya alasan apapun... aku hanya ingin menguatkan tekadku bahwa suatu hari aku ingin melihat mereka sebelum ajalku.

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang