Chapter 17

601 99 10
                                    

👧👧👧👧

MAURA

Aku dan kak Mey hanya termenung memandang foto Darren. Masih di tempat yang sama berdiri tanpa mengatakan sepatah katapun setelah penjelasan panjang dan memilikan antara aku dan Darren. Aku tau kak Mey amat sangat kaget dengan prasaanku, pun aku yakin siapapun yang mendengar kisah cintaku dengannya terdengar tak masuk akal. Sekali-kali ku dengar desahan panjang dari mulut kak Mey, rasanya aku bisa menembak kalimat apa yang hendak keluar dari mulutnya.

"Aku bisa fahami itu..." jawabnya tiba-tiba, aku melirik pada kak Moy menunggu kalimat lain yang akan keluar dari mulutnya. "Karena cinta memang sulit di fahami dengan fikiran, hanya prasaan yang bisa menjamah itu." Tambah kak Mey. "Tapi... apa mami selemah aku yang bisa menerima keadaan ini?" Aku menggeleng pelan. Yah karena di keluarga kami mami merupakan hal yang sulit di tembus, karena papi tak punya cukup waktu untuk mengurus urusan romantika ku, meski terkadang ia turut andil dalam proses kehidupanku meski tak begitu menyeluruh seperti mami.

"Darren terlalu indah sampe aku gak mikirin bagaimana cara mami memahaminya..." jawabku.

Yah siapapun tidak akan sanggup menyangkal dan melawan seseorang yang tengah jatuh cinta. Begitupun dengan kak Mey yang hanya mampu menggelengkan kepalanya.

Malam ini aku sibuk mengemasi beberapa barangku, karena aku berencana akan berangkat malam hari untuk bertemu dengan Darren dan bekerja di pagi harinya, aku bawa semua foto yang sudah ku cetak beserta beberapa item lainnya karena aku berencana membuat kejutan untuk Darren. Tas ranselku kepasang di punggung, dan beberapa paperbag ku tenteng di kedua tanganku. Tak lupa tas kamera yang kini selalu kubawa ku slempangkan. Ku tapaki anak tangga dan aku terkejut ketika kak Mey dengan kaget berpapasan denganki di tangga.

"Ishhh ngagetin aja..." umpatnya. "Kamu mau kemana? Bawa ransel segala?"

"Kak Mey kan tau aku cuman bisa ketemu dia malem hari." Bisikku. "Aku mau kasih kejutan kecil buat dia... jadi aku nginep di rumah sakit." Jelasku.

"Kamu udah gila!!!" Bisik kak Mey. "Alesan ke mami gimana?"

"Aku bisa bilang mau nginep di kostan Tasya." Jawabku santai. Tak lama mami datang menghampiri.

"Loh kalian lagi ngapain ngobrol di tangga?" Tanya mami sambil menatapku dan bawaanku. "Kamu mau kemana? bawa ransel, bawa-bawa paper bag?"

"Hmmm... aku mau nginep di kostan Tasya. Jarak dari sini ke rumah sakit kan jauh... suka cape kalo pagi-pagi..."jawabku.

"Ya makannya kata mami gak usah nyetir biar supir aja yang anter atau Rillan kan suka banget nganterin kamu..." timpas mami. Aku saling pandang dengan kak Mey.

"ya udah si mi biarin aja, kita kan gak pernah tau capeknya kayak apa." Bela kak Mey.

"Makannya kata mami juga kamu jadi dokter... mami suka kesel kalau inget itu..." keluh mami bermaksud mengungkit masa lalu kak Mey.

"Gak semua keinginan mami juga diinginkan oleh anak-anak mami... mami kira Maura seneng jadi dokter." Jawab kak Mey lantang.

"Gak ada pekerjaan yang menyenangkan Mayriska!!! Semua menyenangkan karena ada uang!" Sentak mami.

"Udah-udah...!!!" Aku menghalangi mereka yang saling mengeluarkan tatapan tajam. "Kak Mey, sama mami tuh kalo ketemu ribut mulu. aku mau nginep gak ada hubungannya dengan masalalu kak Mey yang menolak jadi dokter!" Jelasku. Mami mengeluarkan telponnya dan menempatkannya seketika di telinga.

"Nak Rillan kamj jadi ke sini kan?" Aku terdiam tak tau harus seperti apa. "Iya, Maura kayanya gak bisa makan malam bareng nih, dia mau ke rumah sakit sekarang..." jelas mami, ada rasa lega di beberapa bait terakhir kalimat mami. "Wah yang bener? Ya udah Maura tunggu ya nak..." mami menutup telponnya. "Mami ijinin dengan syarat dianterin Rillan!" Mami berlalu begitu saja tanpa memperdulikan pendapatku. Aku menghela nafas, kak Mey menempatkan tangannya di pundak Maura.

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang