Chapter 22

538 89 6
                                    

DARREN

🙏🙏🙏🙏

Ditengah tubuhku yang tengah terbaring pemas, setelah beberapa saat yang lalu kami berbincang. Aku membiarkan Maura menganggapku tertidur. Alasannya aku melihat wajah yang lelah dan matanya yang sayu. Tentu ia butuh istirahat, dan aku tak berani mendiktenya, karena aku yakin jawabannya akan sama yaitu 'Aku akan nunggu disini sampai kamu tidur'. Setelah ia menyadari aku tertidur, ia kembali menggenggam tanganku erat.

"Aku akan kesini lagi... meski bukan lagi dokter magang... meski bukan lagi bagian dari rumah sakit ini... meski cacian pedas yang akan aku dapatkan... aku akan datang..." Bisiknya. Hatiku sakit setiap kali mendendengar niat perjuangannya. Sungguh ia tak mengenal lelah dan putus asa. Rasanya ingin bangkit dan memeluknya seraya mengucapkan terimakasih telah menjadi anugrah terindah di hidupku yang gelap. Namun ku urungkan, aku hanya ingin tubuh lemahnya ia istirahatkan. Aku tak bergeming, meski mata ini rasanya ingin menangis. Ia melepas tanganku perlahan. Aku merasakan kulit lembab mengecup keningku. Lamaku rasakan, seolah aku bisa merasakan kasihnya lewat sentuhan itu. Sebuah tetesan air mata ku rasakan terjatuh ke dahiku, ia menyekanya lembut.

"I love you..."

Ia berlalu seketika, segera setelah ia meninggalkan jejak bibirnya di dahiku. Aku membuka mataku, melihat punggungnya yang lelah melewati pintu kamarku dan lenyap tak berbekas.

Aku bangkit di pembaringanku, duduk menutup wajahku, menangisi Maura yang malang, menangisi kasihnya yang tiada batas padaku, menangisi cintanya yang tanpa pamrih untukku. Ingin aku teriak, ingin aku berontak, ingin aku mengeluh... mengapa ia yang ku cintai tak bisa ku perlakuan sama seperti ia memperlakukan ku dengan baik.

Tak lama setelah Maura pergi, ayah tampak masuk dan duduk di ranjang di hadapanku. Ia menggengam tanganku yang masih menutupi mataku. Kami berpandangan, ayah tersenyum.

"Ayah selalu menantikan jagoan ayah seberani kamu kemarin..." Ungkapnya, ia menempatkan tangannya di pundakku. "Dan itu terjadi akhirnya..." Aku masih menyimak, mata ayah berkaca-kaca. "Ayah sadar... kalau kita tidak ada keberanian kita gak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan." Lanjutnya. "Tapi kamu tau jika keberanian kamu layaknya bumerang?" Tanya ayah. Aku terdiam, merunduk. "Tapi... sekalipun bumerang itu akan menyerang ayah... atau kamu, ayah bahagia melihat senyum kamu itu." Ku peluk ayah seketika. "Mengatakan ini artinya ayah membahayakan nyawa putra sematawayang kamu... tapi ayah tak ingin pula kamu berada dalam kurungan yang mengsengsarakan kamu dalam gelap." Tambahnya ditambah suara gemetar seolah tangisnya hendak pecah. "Apapun itu... berbahagialah nak..."

"Maafin Darrn yah..." Ia melepas pelukku dan menatap mataku. "Karena hanya sebatas ini yang aku lakukan padahal selama ini ayah dan ibu melakukan segalanya..." Ungkapku lirih. Ayah tersenyum.

"Orang tua tidak pernah mengharapkan balasan apapun dari anak mereka. Karena memang begitu adanya... Karena hidup kami adalah untuk anak kami... Karena pengorbanan kami adalah untuk kebahagiaan kamu..." Jawab ayah. "Ayah hanya ingin kamu bahagia." Ia mengusap sudut matanya. "Sampai sejauh ini, ayah sudah bisa menyentuh kamu sudah sangat luar biasa... Dan ayah gak henti-hentinya berterimakasih pada Maura. Seandainya saja ayah seberani dia... Mungkin kamu akan pulih lebih cepat."

Ku raih kembali tangan ayah. Aku pastikan bahwa genggamanku membuatnya nyaman.

"Semua ini karena Allah yah... Allah menghadirkan Maura di kehidupan aku... Allah menjadikan Maura penyelamat ditengah keputusasaan hidupku... Ayah berhak berterimakasih padaNya." Jawabku. Ayah terdiam, aku tahu... Hanya status kami yang beragama muslim namun hati kami tidak beragama. "Maukah ayah berterimakasih sama Allah... Dan menerima segala ketentuan darinya?"

Ayah terpaku, memandangku lekat-lekat.

"Apa ayah kasih pantas bertermakasih padahal ayah sendiri lupa kapan terakhir ayah sholat?" Aku tersenyum dan mengangguk.

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang