👦👦👦👦
DARREN
Suara gemuruh adzan membangunkanku, lagi-lagi aku terlelap di atas kepala mungil yang menyender di bahuku. Ku pastikan dengan melihat jam tanganku, yah tentu saja ini waktu subuh. Ku genggam erat tangan Maura dan membelainya lembut.
"Sholat yuk!!!"
Dia mengucek-ngucek matanya, layaknya seorang balita yang terbangun dari tidur lelapnya. Aku tersenyum, ia meluruskan kepalanya dan memandangku.
"Aku gak tau caranya..." jawabnya polos. Ku elus lembut rambut hitamnya.
"Mau aku ajari?" Tanyaku lembut. Ia terdiam. "Karena suatu saat nanti sholat akan menjadi penghubung ketika kamu rindu aku. Ia menerawang, aku yakin ia tak mengerti apa maksudku. "Mau?" Ia mengangguk akhirnya. Kami berjalan menuju mushola di lantai bawah atap. Tentu saja aku mengajarinya berwudhu, sampai ku ajari tata caranya dan ia mengikutiku akhirnya. Entah mengapa rasanya sholat bersama lebih terasa nikmat dan khusyuk meskipun aku yakin Maura masih sedikit bingung.
Setelah sholat, dan berdoa. Kami kembali ke atap. Entah mengapa aku merasa aku memiliki kekuatan untuk menghadapi matahari pagi ini. Sepanjang menuju atap tangan Maura tetap berada dalam genggamanku. Sesekali senyumnya mengembang seolah mengatakan
Darrn kamu punya aku... apa yang kamu takutkan??
Kami berdiri di balik balkon, menunggu matahri terbit, saling menggenggam, aku takut... tentu saja, bisa di bilanh ini pertama setelah sekian lama yang tak ku ingat aku melihat matahari dengan mataku.
Aku melihatnya...
Warna jingga di ujung timur,
Perlahan ia terbit...
Warnanya indah... amat indah dibalik gelap suasana subuh...
Hingga bentuk bulat kuning itu naik membentuk lingkaran dengan cahayanya yang menerangi penjuru dunia, rasa hangat menyentuh kulitku, segar dan lembut. Mataku tiba-tiba terpejam. Aku merasakan hangat tangan Maura, ia seolah memberikan energi positif di tengah campur aduknya prasaan takutku.
"Oprasi seharusnya lebih menyeramkan dari matahari Darrn..." ungkapnya. "Apa yang kamu takutkan? Ada tangan aku disini..."
Lalu dengan spontan pula mataku tebuka lebar. Ku rasakan hangatnya menyoroti wajahku.
"Rasanya hangat Ra..." ungkapku. Maura tersenyum dan mengangguk pelan. Ku lihat tanganku, tidak ada tanda-tanda alergi matahariku terjadi. Tidak ada setitik ruam merahpun yang muncul, tak ada reaksi apapun dari saluran pernafasanku yang biasanya tersumabat ketika aku berhadapan langsung dengan matahari, tidak ada hal-hal menyakitkan apapun yang terjadi padaku setelah sekitar 20 menit aku berdiri dengan tenang di bawah sinar matahari.
"Ra... aku gak papa..." kataku girang, Maura mengagguk cepat sama girangnya denganku.
"Iya kan? Gak selamanya obat itu harus di minum Darrn..." jawabnya cepat. Aku mengangguk dan kembali memandang matahari.
"Indah... tiba-tiba hidupku indah... semuanya berkilau..." tambahku. Maura menggenggam tanganku lebih erat.
"Selamanya hidup kamu akan lebih terang Darrn..." jawabnya, ku peluk ia seketika. Sangat erat, entah mengapa aku ingin melakukannya, entah karena rasa syukurku terhadap kehadirannya.
"Makasih Ra..." gumamku. Ia menyusupkan kepalanya didadaku. "Aku bahagia..."
Ia mendekapku lebih kencang dan mengelus-elus punggungku dengan tangan mungilnya.
"Makasih Darrn... aku bahagia..." ulangnya. Aku tersenyum, sungguh rasanya aku merasa aku hidup setelah 25 tahun aku tak merasakan apapun dalam hidupku. Semua indah, semua tanpa cela.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPEless
Любовные романыmenceritakan seorang laki-laki yang memiliki penyakit langka yang membuat dia tak bisa keluar dari kamarnya, tapi semangatnya tinggi, dia selalu percaya suatu hari dia akan sembuh dan bisa kembali melihat Sunrise dan Sunset yang sangat ia sukai. nam...