chapter 16

667 91 8
                                    

👧👧👧👧

MAURA

Untuk pertama kalinya semenjak menjadi serang dokter, aku merasa bahagia. Di hari liburku setelah pertemuan ku dengannya sepanjang malam, ku habiskan waktuku di kamar untuk mencetak semua foto yang ku ambil beberapa waktu yang lalu. Tadi pagi tentu saja aku dapat omelan dari mami karena anak gadisnya mulai tidak pulang teratur, dan seperti biasa pula aku bisa mengatasinya hanya dengan pelukan dan rayuan manja. Tapi aku yakin, nanti rayuan ini tidak mungkin lagi mempan. Tak apa, akan ku lakukan meskipun aku harus bersembunyi sepanjang umurku. Aku hanya ingin menemuinya, bersamanya, menghabiskan sepanjang waktuku dengannya, melihat senyumnya yang hangat, genggaman tangannya yang nyaman, pelukkannya yang menentramkan, dia hidupku... aku tak pernah tau maksud Tuhan menhirimnya di hidupku, tapi karena hadirnya aku jadi tahu apa arti diriku.

Ku pandangi gambar-gambar yang ku gantung itu dari jarak satu meter, ku tatap gambar Darren diantaranya. Yah aku secara diam-diam memotret Darren. Dia tampan dilihat dari manapun. Ku pangku tanganku, aku menyadari benar kata orang bahwa Tuhan itu adil. Dia  memberikan segala kesempurnaan pada Darren, wajah yang rupawan, tubuh yang ideal, pintar dan sangat baik... tapi ia tidak bisa keluar, kesempurnaannya tidak banyak orang yang tahu. Aku tersenyum. Dia terlalu indah untukku bayangkan, segala tentangnya...

Tuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tuk... tuk... tuk..

Pintu kamarku terbuka setelah 3x ketukan pintu. Ku toleh, kak Mey masuk dengan wajah sebam sehabis menangis. Aku tahu ini berat baginya, terlebih jiwa bebasnya jauh lebih liar dari pada aku. Kini ia hanya bisa terkurung dirumah dengan segala aturan mami. Ia mendekat, dan turut memandangi semua gambar yang sudah aku cetak.

"Ini kamu yang ambil sendiri?" Tanya ia seolah tak percaya dengan kemampuan yang ku miliki. Aku mengangguk bangga. "Dari dulu aku tuh suka ngomong, kamu gak ada bakat jadi dokter..." tambah kak Mey. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. Kak Mey menyisir setiap gambar yang aku ambil hingga ia terhenti di wajah sumbringah Darren. "Ini... siapa?" Kak Mey menoleh dan kami saling pandang, aku tersenyum malu, dan kurasakan pipiku serasa terbakar karena malu. "Jangan-jangan..." kak Mey tersenyum menggodaku. Aku mengangguk.

"Dia yang udah bikin aku sadar akan banyak hal kak..." jawabku. Kak Mey mendekat.

"Kamu tau, kenapa sulit buat aku ngelawan mami saat ini?" Tanya kak Mey, aku menggeleng pelan. "Karena aku melepaskan orang yang aku cintai demi ketenangan semua pihak, dia dengan hidupnya, aku dengan hidupku... juga gak ada yang harus aku perjuangkan...karena perjuangan aku telah berakhir sejak perpisahan kami waktu itu."

"Jadi kak Mey akan menyerah?" Kak Mey terdiam.

"Bisa apa aku Moy, tinggal beberapa minggu lagi..." jawabnya. "Sebenernya laki-laki itu baik, layaknya Rillan..."

"Iya, Rillan orang yang baik... terlalu baik, tapi aku gak bisa liat dia." Jawabku. "Bagi aku, Rillan adalah pasangan masa depan yang mau tidak mau harus ku nikahi, tanpa perduli apa yang ia lakukan sekarang, apa kebiasaanya, apa yang ia benci, apa yang ia suka, obrolan apa yang menarik... gimana prasaan dia ke aku? Aku gak pernah peduli itu... tapi sekarang, aku mulai mikirin ka, apa yang akan dia lakukan kalau dia tahu aku gak peduli sama dia, gimana prasaannya, harus kah aku jujur kalau ada yang lain di hati aku?" Kak Mey melingkarkan tangannya di pundakku. Ku sandarkan kepalaku padanya.

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang