Chapter 21

623 100 8
                                    

🙅🙅🙅🙅

MAURA

Aku tak tahu bagaimana mimik wajahku di depan pengunjung, bibirku terlalu kaku untuk sekedar tersenyum, kepalaku terlalu berat untuk ditegapkan, cincin itu akhirnya melingkar juga di jari manisku. Batinku berontak, ingin teriak rasanya, ingin melempar cincin ini dan mengatakan pada semuanya bahwa aku tak pernah mengingnkan ini terjadi. Namun dibenakku, banyak sekali yang menjadi pertimbanganku. Mungkinkah aku mempermalukan kak Mey dan semuanya? Mungkinkah aku harus bertindak sejauh itu?

Rillan tersenyum sesaat setelah ia memasukan cincin itu di jariku. Giliranku, yah ini giliranku untuk memakaikannya cincin... dan inipula akhirnya kisah cintaku. Setelah cincin ini melingkar di jari Rillan itu artinya tidak adalagi kesempatan bagiku untuk mencintai Darren, bahkan aku tak berhak menyebut namanya. Cincin itu ku ambil, sengaja ku pelan-pelan berharap Allah itu ada seperti yang Darren katakan.

Bruuuukkkk

Suara sesuatu jatuh terdengar nyaring, semua orang berhamburan menghampiri hingga membentuk kerumunan. Ku simpan kembali cincicn itu, karena fokus pengunjung kini beralih pada kerumunan. Sayup-sayup ku dengar nama Darren di teriakkan oleh seseorang. Aku tak perduli lagi, ku angkat gaunku dan ku berlari menuju kerumunan dengan tergsa-gesa. Ku abaikan Rillan yang berkali-kali menyebut namaku. Jantungku berdegup kencang, prasaan tak enak ini sungguh menyesakkan hingga sepanjang aku berlari aku terus memegangi dadaku. Ku masuki kerumunan itu, hingga aku menemukan sosok laki-laki tergeletak diatas lantai dengan prempuan yang tengah kemeriksa tubuhnya dengan stetoskopnya. Ku pandangi ia lekat-lekat.

"Darren?" Ku pastikan sosok itu lebih dekat, tubuhku lemas, kakiku tak sanggup menopang tubuhku. Aku menjatuhkan diri disampingnya, wanita itu ternyata Tasya, ia tampak menangis dan gemetar. "DARRENNNNNN!!!" teraiakku. Aku tak perduli dengan tamu yang berkerumun di sekitar kami, aku tak perduli lagi dengan acara ini. "DARRENNNNN!!!" Aku menangis sejadi-jadinya, ku angkat tubuhnya dan kupeluk ia,nku tempatkan kepalanya di dadaku dan ku biarkan tubuhnya terbaring di lantai. "Darrennn..." Terdengar Tasya menelpon ambulan. Aku masih tidak bisa mengontrol emosiku, berkali-kali aku mendengar mami memanggil dan menarikku hingga lengan gaunku sobek, namun aku tak bergeming, aku tetap duduk lemas memeluk Darren sambil menangis histeris.

Aku mendengar suara jantungnya yang berpacu, nafasnya terengah-engah, matanya setengah terbuka sesekali, tangannya meraih punggungku, ia tersenyum padaku dan tak lama tangan itu terjatuh ke lantai.

"Maafin aku Darrn... maafin aku..." Bisikku. Suara ricuh dimana-mana tak membuatku bergeming, aku tak perduli lagi yang aku fikirkan adalah bagaimana Darren bisa membuka matanya.

Tak lama berselang, suara ambulan datang, aku tak perduli dengan bisikan yang kudengar, aku turut membawa Darren masuk kedalam ambulan, Sepanjang jalan ku genggam erat tangannya, Tasya mengurus Darren di dalam ambulan, memasangkan oksigen dan terus memantau detak jantungnya. Aku tak memikirkan apapun selain terus mengenggam tangannya sambil berharap akan ada harapan lain bagi Darren. Aku berjanji pada diriku sendiri setelah ini aku tidak akan pernah meninggalkannya meski aku ditinggalkan segakanya.

Tasya menyematkan sweaternya padaku, mungkin karena lengan gaunku yang sobek dan tampak menyedihkan, aku hanya menoleh dan kembali merunduk memejamkan mata dan terus menggenggam tangan Darren.

"Aku gak tahu kalau ini bakal terjadi Sya..." Ungkapku. Tasya merangkulku dan meraih kepalaku menyenderkan kepalaku dibahunya. "Aku fikir aku hanya akan menyakiti Darren dari mulut orang lain... dan akan aku telan sendiri semua rasa bersalahku... aku gak tau dia akan dateng..." Dia mengelus-ngelus bahuku lembut. "Kenapa dia selalu berakhir begini gara-gara aku Sya? Dia pasti marah sama aku sampe-sampe dia pingsan begini..." Aku menangis tersedu-sedu.

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang