👧👧👧👧
MAURA
Jantungku berdegup kencang, sedari tadi... sejak aku melihat Darren dibalik kaca, rasanya aku kembali mendapatkan vitamin setelah beberapa hari terasa hampa. Pagi ini terasa segar, pekerjaanpun terasa ringan, UGD yang sibuk luar bisa terasa sangat menyenangkan. Hingga sorepun tiba, waktu pulangpun cepat sekali datang.
Saat-saat membuka jas putih ini dan menyimpannya di loker menjadi hal yang paling menggembirakan, karena tekadku hari ini akan kembali ke atap untuk sekedar melepas penat. Tasya menghampiri, yah dia memang kembali masuk shif malam hari ini, karena Tasya mulai bertugas di ruang khusus. Ia memakai jasnya di sebelahku.
"Kamu girang banget kayanya..." kata Tasya mengawali perbincangan kami.
"Aku lega banget Sya..." ku tutup pintu loker dan ku sandarkan tubuhku di balik pintu loker, ia memandangku antusias. "Aku tadi liat Darren, dia senyum sama aku..."
"Kamu masuk ke ruang khusus?" Tanya ia.
"Nggak... dia ngebuka tirai kamarnya..." jawabku cepat. Tasya turut menyandarkan tubuhnya disebelahku.
"Semalem aku liat dia, maksud aku, kita sempet ngobrol." Tasya tiba-tiba gagap. "Terus terang awalnya aku mencibir cinta yang kamu miliki... bagi aku cinta harus pake logika sya, dan kamu cinta sama orang yang sakit..." jelasnya. "Tapi pas liat Darren aku jadi sadar kenapa kamu begitu tergila-gila." Ku lirik Tasya, ia menatapku. "Dia ganteng..." tambahnya. Lalu Tasya tertawa. "Tenang aja, aku gak ada niat buat rebut Darren dari kamu ko... gitu banget liatinnya..." aku hanya menjawabnya dengan senyum. "Ya udah aku kerja dulu ya..." ia kembali terhenti ketika hendak beranjak. "Mau sampein sesuatu sama Darren?"
Tiba-tiba prasaanku lain, tiba-tiba aku merasa tak percaya padanya. Aku menggeleng pelan. Tasya mengangguk dan melambaikan tangannya. Entah mengapa dari cara Tasya berbicara seolah ia ingin mengatakan bahwa ia pun menyukai Darren. Tapi ku hempaskan fikiran itu dan ku berjalan menjauh dari ruang ganti, menyusuri tiap anak tangga menuju atap seperti biasa dengan kamera di genggamanku, memburu sunset dan pemandangan kota sore hari.
Hembusan angin menerpa rambutku yang pendek ketika ku buka genggaman pintu itu. Aku berjalan perlahan menuju ujung balkon, melihat sekitar, memerhatikan matahari yang mulai tenggelam. Aku siap membidik, kameraku sudah ku tempatkan di salah satu mataku, memutar lensa dan menggambil gambar. Mencari angle yang pas, mencari objek yang menyenangkan. Hingga kakiku terasa pegal, karena seperti yang kita tahu bahwa memfoto sesuatu terkadang kita lebih aktif bergerak dari pada objek yang kita ambil. Aku pun duduk di bangku panjang, matahari yang perlahan tenggelam membuat langit berangusr menghitam. Ku pandangi tulisanku yang mulai menyala, tentu... ku baca ulang untuk membuatku terkenang akan Darren, ku sentuh tulisan itu dan mengikuti bait per baitnya hingga ku temukan sebuah ukiran kasar di ujung bait tulisanku.
I miss u Maura
-Darren-
Aku terperangah, kaget sekaligus tak percaya dengan apa yang aku sentuh. Dia membacanya? Darren membaca pesan dariku? Batinku bertanya berulang-ulang seolah aku tak mempercayainya, namun ini nyata... siapa pula yang mau repot-repot datang ke mari jika bukan Darren? Aku terus menerus mengelus ukiran kasar itu, membayangkan bagaimana Darren mengukirnya untukku. Aku mempotretnya dengan kameraku, ku abadikan tulisan indah ini.
Bintang mulai bermunculan, pemandangan langit mulai kembali gemerlap, aku menengadah seoalh berterimakasih pada bintang-bintang yang telah menjadi saksi bisu harapan yang ku tulis. Lagi-lagi aku mengangkat kakiku keatas bangku, kupeluk kedua kakiku dan ku susupkan kepalaku diantaranya. Berandai-andai, akan ada Darren disebelahku membelai rambutku dan mengatakan ia rindu...

KAMU SEDANG MEMBACA
HOPEless
Romancemenceritakan seorang laki-laki yang memiliki penyakit langka yang membuat dia tak bisa keluar dari kamarnya, tapi semangatnya tinggi, dia selalu percaya suatu hari dia akan sembuh dan bisa kembali melihat Sunrise dan Sunset yang sangat ia sukai. nam...