👧👧👧👧👧👧👧👧👧👧👧👧👧👧👧👧👧👧👧
MauraAku mengangkat tasku, sedikit bersemangat karena pagi ini aku akan pulang untuk mengumpulkan energi mengahadapi shif malam yang menyebalkan nanti...ah tidak lagi, setelah percakapanku tadi malam dengan Derren rasanya malam nanti aku nantikan. Langkahku berjalan beriringan dengan Tasya yang dengan santai membaca buku. Ku lirik wajah seriusnya, mana pernah wajah tegang itu mencair atau kita sekedar bercanda ketika berjalan. Ku sikut tangannya, Tasya melirik dan mengangkat kedua alisnya, seolah bertanya 'Kenapa?'.
"Lo pernah denger Vampire disease?"
"Ofcourse!!!" Jawabnya antusias, yah jika saja obrolan pertamaku tentang sebuah penyakit atau hal-hal yang menurut dia menarik dia akan menutup bukunya segera dan menatapku.
"Kenapa itu bisa terjadi sama seseorang?" Tanyaku pelan.
"Setahu aku, itu terjadi karena kelainan genetik langka... umumnya sih diwariskan, perbandingannya 1 dari 1 juta orang di dunia dilaporkan memiliki penyakit ini." Jawab Tasya. "Aku pengen banget liat orang yang punya penyakit ini... ini bisa banget jadi bahan penelitian aku." Tambahnya. Aku terdiam, mataku seolah menghakimi ekspresi lempeng Tasya ketika ia mengatakan ingin melihat orang yang memiliki penyakit itu.
Mataku tertuju pada ruangan Darren yang kini ku lewati, tirainya tertutup rapi, semuanya. Entah mengapa aku merasa Derren tidak tidur di dalam sana, entah mengapa rasanya aku bisa melihat tubuh Derren yang tengah terbaring dengan mata terbuka, melihat kelangit-langit atap, meresapi betapa dingin dan sepinya ruangan gelap itu. Tasya masih saja mengoceh tentang penyakit itu dan beberapa orang didunia yang ia tahu terkena penyakit tersebut. Mataku kembali melirik Tasya.
"Ada kemungkinan sembuh?" Tasya terdiam.
"Kemungkinan itu akan selalu ada kalau kita berusaha." Aku tak sadar mengerutkan keningku, berusaha dengan keras membayangkan wajah Derren yang penuh semangat dan ceria namun dengan sejuta kesedihan dimatanya. "Meski mustahil... karena dokter itu hanya mengetahui secara teknik... Tuhanlah yang mengatur segalanya secara alami."tambahnya. "Kenapa kamu tiba-tiba penasaran terhadap sesuatu?"
Aku menggeleng cepat. Mencoba meluruskan kembali pandanganku pada jalan yang aku tuju.
"Dari cara kamu memandang jalan yang kamu tapaki... aku bisa ngerasain kalau kamu mengetahui sesuatu." Langkahku terhenti, sejelas itukah ekspresi bingungku dan prasaan khawatirku. Tasya ikut terhenti dan memandangiku curiga. Namun Rillan memecahkan suasana hening yang aku dan Tasya ciptakan di lorong.
"Maura!!!" Serunya, aku menoleh dan ku dapati laki-laki menawan itu berlari kearah kami.
"Pangeran berkuda dateng noh!" Ledek Tasya dengan wajah datarnya. Lagi-lagi aku menghela nafas panjang, malas sekali rasanya.
"Pagi sayang!!!" Tasya berlalu tanpa mengatakan sepatah katapun, ia hanya melambaikan tangan padaku, dengan ekspresi wajah yang masih sama LEMPENG.
Tinggalah aku dan Rillan berdua di sana.
"Ayo kita cari tempat buat breakfast." Ungkapnya. Ku lirik penampilan santainya, celana bahan warna coklat selutut dengan logo brand terkemuka, kaos polo warna putih polos, topi bermotif yang menggambarkan brand tertentu dan spatu sport yang selewat saja orang bisa tau harganya dan keasliannya. dia berkali-kali mengatakan di whatsapp kalau hari ini dia akan bermain golf dengan keluarganya, dan berkali-kali pula dia mengatakan agar aku mau turut serta menemaninya hari ini.
"Aku mau langsung pulang aja Lan... aku capek banget." Keluhku.
"Kamu gak bisa ikut main golf?" Aku menghela nafas kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOPEless
Romantizmmenceritakan seorang laki-laki yang memiliki penyakit langka yang membuat dia tak bisa keluar dari kamarnya, tapi semangatnya tinggi, dia selalu percaya suatu hari dia akan sembuh dan bisa kembali melihat Sunrise dan Sunset yang sangat ia sukai. nam...