chapter 7

745 81 6
                                    

👦👦👦👦

DARREN

Aku tersenyum, memandang langit-langit kamarku yang gelap.

Gelap?

Mengapa kegelapan ini sepertinya tak lagi membuatku kelabu?
mengapa kegelapan ini sepertinya tak lagi membuatku muak?
Mengapa pandanganku terasa indah dan menyenangkan?
Mengapa disaat aku ingin menyerah Maura hadir secara tiba-tiba dan memberiku semangat, memberiku kekuatan lewat kulitnya yang hangat.

Mataku yang beberapa hari ini sulit terpejam, tiba-tiba bisa dengan mudah terpejam dan rasanya aku sudah berada di dunia mimpi yang indah. Terlelap dengan tenang seketika, dengan kenyamanan yang tadi Maura beri, dengan kenyamanan yang tiba-tiba aku rasa.

Hangat,

Seolah ada energi yang masuk melalui sela-sela pori-poriku, energi hangat itu berputar-putar membentuk spiral dan menjalar cepat menuju seluruh badanku. Jemari hangat itu masih saja menempel di punggung tanganku.

Lembut,
Seperti kain sutera yang menggulung melingkari tubuhku... kelembutannya menyenangkan jiwa... sungguh nyaman.

Mataku masih saja belum beranjak, sementara matanya terfokus pada tanganku yang membeku, terpaku dengan keindahan yang tak pernah dirasa. Jemari yang beku ini rasanya hidup, mereka meraih jemari lembut dan hangat milik Maura dan mendekapnya erat. Maura menatapku tersenyum.

Jantungku...

Berirama dengan merdu...

Matanya yang indah berkilau memandangku sehangat jemarinya.

Rasanya bibir inipun tak bisa berdusta, perlahan senyum ini pun terukir, mengungkapkan kesyukuran yang tiada henti...mengungkapkan betapa keberanian seseorang adalah yang kutunggu.

"Tangan kamu jadi hangat..." ungkapnya.

"Ternyata... kulit manusia memang hangat..." tambahku, dia mengangguk.

"Aku cuman mau bilang, kalau kamu gak lagi sendiri..." aku kembali tertegun, memandangnya lekat-lekat. "Gak ada yang lebih baik selain mencoba bergantung pada manusia lain ketika kita merasa takut dan sendiri."

Rasanya mata ini perih, untuk pertama kalinya aku merasa tersentuh dengan ucapan manusia. Aku mengangguk pelan, sesekali menengadah mencoba menahan air mata ini agar tidak jatuh seperti pengecut. kami duduk bersebelahan setelah sekian lama kami hanya duduk berhadapan terhalang oleh kaca, dengan tangan masih saling menggenggam.

"Ketika sembuh... tempat pertama yang kamu pengen kunjungi dimana?" Tanya dia. Aku menerawang mengingat, karena betapa banyak tempat yang ingin aku datangi namun tak mampu ku lakukan.

"Aku suka banget liat sunset... sunrise... meski aku gak pernah liat dengan nyata. Tapi belakangan aku juga pengen liat Aurora... sambil tinggal di kemah, menikmati langit yang gemerlap dan berwarna warni, merasakan udara segar yang di hembuskan angin..." jelasku.

Dia tersenyum...

"Aurora lebih romantis..." tambahnya, aku mengangguk menstujui apa yang Maura katakan. "Sebelumnya... kalau aku pergi keluar, yang aku tuju adalah shopping..." dia tertawa sinis, menertawakan apa yang ia lakukan. "Aku gak pernah menikmati dimana aku sedang berada, aku gak pernah menyadari betapa banyak yang harus aku syukuri karena aku bisa kesana dengan mudah..." dia mengela nafas, tiba-tiba ia menatapku serius "Aku janji... mulai saat ini, aku akan mensyukuri setiap langkah yang aku jalani... aku janji, aku akan menjadi kamera kamu... dan menunjukan tempat-tempat indah lewat gambar itu... sehingga kamu bisa melihat apa yang aku lihat... sehingga... kamu akan merasa pergi kemana aku pergi..."

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang