Chapter 9

646 87 12
                                    

👧👧👧👧

MAURA

Seperti halnya seseorang yang mengambil sesuatu tanpa ijin. Aku melihat sekitar dengan hati-hati, ku keluarkan kepalaku di ambang pintu ruangan Darren dengan tangan menggenggam tangan Darren yang masih berada di dalam. Darren turut mengeluarkan kepalanya di atasku, ia mengenakan masker dan topi, serta jaket tebal seolah ia akan pergi ketempat yang berusuhu dingin.

"Kamu yakin Ra?" Bisiknya. Aku menengadah memandang Darren yang berada di atasku, meyakinkannya dengan mataku. Dia seolah bisa membaca sorotan mata tajam yang ku desakkan padanya, dengan pasrah dia mengangguk menyetujui apa yang aku maksud. Setelah ku pastikan tak ada satupun staf rumah sakit yang berkeliaran dengan sigap aku tarik Darren keluar dari ruangannya menyusuri tiap lorong rumah sakit dengan tangan saling berpegangan. Kami berjalan cepat, ku rasakan semilir angin dari langkah cepat kami berjalan, membuat rambutku yang di ikat ekor kuda melambai-lambai. Tangan Darren yang dingin mulai kembali hangat, ku tengok ia, mata sipitnya melengkung pertanda ia tersenyum. Aku kembali memfokuskan pandanganku menuju setiap langkah yang kami tapaki. Hingga kami menemukan anak tangga dan berjalan cukup pelan menapaki jajaran anak tangga yang selalu aku anggap menyebalkan.

Kami berjalan santai, beriringan dan masih bergandengan. Aku terus memastikan bahwa Darren baik-baik saja dengan suara nafasnya yang terdengar berat.

"Kamu capek?" Dia menghentikan langkahnya, cairan bening tiba-tiba terjatuh dari kepalanya. Ia menurunkan maskernya sambil tersenyum.

"Ternyata begini sensasi berlari..."jawabnya. "Ternyata begini rasanya berkeringat karena berlari..." aku kembali terdiam, sungguh aku mengingat betapa sering aku mengeluh karena lelah, karena berkeringat dan kepanasan. "Aku... seneng karena aku bisa capek..." tambahnya. Aku mengembangkan senyumku memandangnya penuh simpati.

"Kamu mau kita duduk dulu?" Tanyaku, Darren melihat jamnya dan memastikan.

"Gerhananyakan jam 1, sekarang udah mau jam 1. Kita lanjut aja!" Jawabnya sambil memasang kembali maskernya, dengan tangan masih menggenggam tanganku. Aku kembali memabawanya menaiki beberapa anak tangga, hingga kami tiba di atap yang sepi di pagi buta. Kami menghampiri sebuah bangku kayu memanjang yang berada tepat di sebelah barat. Kami duduk di sana bersebelahan. Masih dengan tangan saling menggenggam, aku menyadari mungkin salah terlalu lama menggenggam tangan seseorang, namun seolah aku ingin berpura-pura lupa, seolah aku ingin membuat Darren percaya bahwa ketika aku mengganggam tangannya tak akan pernah ada yang terjadi.

Darren memandang langit dengan penuh antusias, ia tersenyum meski mulutnya terhalang masker, ia menyisir pemandangan langit yang malam itu indah dengan taburan bintang-bintang dan bulan yang memancar dengan indah dengan pesona purnama yang langka. Sementara aku memandangnya tampa jemu, melihat betapa ia menikmati tiap detik pemandnagan langit ini.

Tiba-tiba ia menganggat tangan kami yang masih menempel. Aku kaget? Tentu saja, namun ia pun tampak kaget, aku yakin Darren lupa jika tangannya masih menempel dengan tanganku. Ia menunjukkan tangannya pada satu bintang di depan kami. Namun kami masih canggung dan saling menatap seolah mempertanyakan mengapa tangan ini masih saling menggenggam? Aku sedikit bergeser, dan memalingkan muka darinya, aku berusaha memusatkan pandanganku pada bintang yang ia tunjukkan. Darren kembali pada tangannya yang sudah lama mengacung.

"Kamu tau bintang apa yang paling terang itu?" Aku terdiam, oh mana aku tau tentang sains yang ku benci, bahkan tiap materi kedokteranpun aku tak pernah menyukainya. Aku menggeleng cepat. "Itu namanya bintang Canopus." Jawabnya sambil memandangku penuh senyum. "Bintang ini merupakan bintang yang paling terang di rasi carina..." Darren kembali melihat ke langit dan dia berdiri seketika dengan gembira ia menunjukan beberapa bintang diatas kami. Ia dengan antusias kembali menggenggam tanganku, jantungku mulai berdegup, aku memandang Darren yang begitu gembira dan mulai menarikku menuju tepi gedung. "Kamu liat bintang-bintang itu Ra?" Aku yang mulai tidak fokus mencoba mengikuti arahan Darren memandang langit yang di taburi bintang-bintang. Meski aku tak sedikitpun faham tentang bentuk-bentuk itu. "Kamu liat 3 bintang yang berjajar membentuk sabuk orion di sana?" Aku mencari-cari apa yang Darren maksud, namun lagi-lagi aku selalu tampil bodoh dihadapannya. Ia tersenyum dan tiba-tiba ia berdiri di belakangku dan memusatkan kepalaku pada bintang yang ia maksud. Jantungku berdegup kencang tak karuan. Darren kembali menunjuk bintang-bintang itu. "Namanya bintang orion..." ia kembali memutar tubuhku dengan pisisi ia tetap berda di belakang punggungku. "Wah malam ini luar biasa Ra... banyak bintang yang bisa aku lihat dengan mata telanjang... wah itu..."

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang