👧👧👧👧
MAURA
Aku bisa menghela nafas lega akhirnya, ketika aku kembalikan Darren ke ruangannya. Apa yang sebetulnya membuat aku merasa lega? Karena aku tidak ketahuan oleh staf rumah sakit? Atau oleh orang tuanya?
Hhh... ternyata hal yang paling aku khawatirkan bukan kedua hal itu.
Tapi...
Apakah Darren akan baik-baik saja setelah aku sered ia keluar dari ruangannya?
Yang aku fikirkan hanya kondisinya saja, bukan hal yang lain... karena hal lain bisa ku atasi, namun hatiku mengatakan... aku tak akan mampu melakukan apapun jika saja terjadi apa-apa pada Darren, karena aku.
Batinku kembali bertanya.
Mengapa?
Aku hanya ingin hal-hal baik menimpanya... aku tak ingin ia terluka, atau bahkan merasa sakit.
Apa aku jatuh cinta padanya?
Apa cinta itu sesederhana ini?
Setelah ku bandingkan gaya hidupku, dan gaya pacaranku yang selalu mengutamakan kenyamanan, fasilitas, maknan enak, liburan mewah. Mengapa jatuh cinta terasa mudah jika memang ini yang ku rasa. Mengapa semua jauh dari ekspekasiku mengenai cinta. Darren memandangku di balik kaca. Entah apa yang ia fikirkan. Yang jelas aku tak ingin ia lenyap dari pandanganku saat itu, seolah bisa membaca mataku ia kembali keluar dan menari tubuhku untuk masuk kedalam.
Aku terkejut dengan sikap spontannya, dia mengenggam tanganku menuju tempat yang tak pernah ku bayangkan akan ku masuki. Ia memutar gagang pintu, dan lagi-lagi aku tertegun. Sebuah ruangan luas yang di penuhi lego yang sudah di rakit tertata rapi membentuk sebuah kota yang indah dengan kreta yang terus berputar mengitari kota.
"Ini tempat favorit aku di ruangan ini..." ungkapnya, aku masih tidak bisa menyembunyikan kekagumanku. Bagaimana bisa ia merakit semua ini di tengah tekanan penyakit yang selama ini menghantuinya. "Aku gak pernah tunjukin sama siapapun Ra... hanya ibu dan ayah yang tau." Tambahnya." Aku perlahan melangkah mendekati bangunan-bangunan indah bergaya modern klasik yang ia bangun.
"Kamu... rakit semua ini sendirian Darren?" Tanyaku meyakinkan diriku dengan pertanyaam konyol itu.
"Kamu fikir siapa lagi?" Tanya ia balik sambil tersenyum. "Aku udah ngerakit ini sejak aku berusia 6 tahun. Aku mulai dengan hal-hal sederhana seperti mobil dan rumah-rumah kecil."jelasnya. Aku lagi-lagi kagum padanya, betapa cerdas Darren, dengan segala kemampuannya.
"Tuhan emang adil..." ungkapku. "Kalau aja kamu bisa hidup di luar, bukan hanya Indonesia yang bisa kamu kuasai Darr, tapi dunia." Tambahku. Darren hanya tersenyum.
"Memangnya apa yang aku lakukan sampe kamu bilang kayak gitu?" Ia menyamakan posisinya denganku.
"Aku ngerasa kamu bisa segalanya. Aku tanya kamu soal dunia kedokteran kamu tau jawabanya, bahkan kamu selalu menjelaskan apa yang aku gak pernah ketahui, saat kita diatap, kamu jelasin aku soal bintang-bintang... saat aku bimbang, kamu tau jawaban apa yang aku butuhkan... dan saat ini aku melihat sebuah miniatur kota yang luar biasa..." jelasku.
"Apa gunanya semua itu Ra, kalau bahkan kamu gak merasakan secara sikologis keadaan diluar sana... kamu gak pernah bersosial..." jawabnya. Aku menatapnya, ia tak merubah ekspresinya, ia tetap tersenyum di tengah jawabnnya yang terdengar mengeluh bagiku. "Gak ada manusia yang benar-benar hebat di dunia Ra..." ia turut menatapku.
"Lantas... apa yang sempurna jika menurut kamu manusia gak ada yang sempurna?" Tanyaku. Aku benar-benar bertanya karena ingin tahu. Karena selama ini aku hidup dalam kesempurnaan... namun, aku tak merasa itu cukup.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOPEless
Romancemenceritakan seorang laki-laki yang memiliki penyakit langka yang membuat dia tak bisa keluar dari kamarnya, tapi semangatnya tinggi, dia selalu percaya suatu hari dia akan sembuh dan bisa kembali melihat Sunrise dan Sunset yang sangat ia sukai. nam...