Chapter 23

584 86 7
                                    

MAURA

👯👯👯👯👯

Sepanjang jalan menuju rumah, aku berdoa. Yah untuk pertama kalinya dalam hidupku aku memohon pada Tuhanku, agar aku tak menyakiti hati mami dengan ucapanku, agar aku bisa kuat mendengar cacian, makian dari mami, agar aku bisa tetap diam sesakit apapun kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sesekali bang Arief melirik ke arahku yang tepejam dengan mulut kumat-kamit.

"Kamu kenapa dek?" Tanya ia yang sesekali memanggilku dedek atau turut memanggilku Moy seperti kak Mey.

"Aku berdoa." Jawabku singkat, kak Arief tertawa, mungkin langka mendengar kalimat itu dari mulutku, aku pun geli mendengarnya, karena aku memang tak pernah melakukan itu. Geli dengan tingakah angkuhku yang merasa aku tak butuh Tuhan, geli dengan prasaan puasku atas kesempurnaan paripurna hidupku. Tapi kini lain, Darren membuatku sadar bahwa di atas langit masih ada langit, diatas penguasa masih ada penguasa, tidak ada manusia yang drajatnya melebihi Tuhan. Tuhan tetap paling diatas, ya Allah berada di paling atas, yang menyamakan umatnya, tak peduli buruk dan baik umatnya Allah senantiasa merangkul dan mengasihi tanpa batas.

Pedal gas di injak perlahan, mobil terhenti di halaman luas rumah mewah kami, jantungku berdegup tak karuan, iya menghadapi mami dan papi bagi kami anak-anaknya adalah sesuatu hal yang menegangkan apalagi ketika kami melakukan kesalahan. Aku masih saja duduk di mobil meski abang telah lebih dulu keluar, aku menghela nafas panjang dan kuputuskan keluar secepatnya. Ku susul laju langkah abang yang sedikit lagi menuju pintu masuk. Ku lingkarkan tanganku di tangannya.

"Kamu yakin Moy mau menghadapi mami begini?" Aku mengangguk cepat.

"Mau di hindari sampai kapan?"

Kami melangkah bersamaan menuju ruang utama yang senyap. Kami melanjutkan langkah kami ke ruang keluarga namun disana tak ada tanda-tanda kehidupan. Melihat keberadaanku dan abang mbak yang bekerja di dapur bergegas menghampiri kami.

"Non... Kemana aja? Kenapa semalam ga pulang?" Tanya ia. Aku hanya membalasnya dengan senyum.

"Mami?" Tanyaku. Ia mengerutkan kening.

"Nyonya marah besar non... Tuan juga, mereka bertengkar sesampainya di rumah. Bahkan ada beberapa barang yang pecah." Jelas mbak. "Non Mey sudah berangkat semalam sama suaminya bulan madu." Tambahnya. Aku terdiam, menantikan kabar lain dari orang tuaku. "Nyonya juga pergi ke singapura... Mungkin beliau stres biasanya kan gitu non... Kalau beliau stres beliau keluar negri."

"Papi?" Tanyaku.

"Tuan gak pulang dari semalam... Mbak gak tau tuan kemana." Jawabnya.

Bang Arief menyeringai jijik.

"Dari keluarga seperti inilah kita tumbuh Ra... Dimana cinta itu hanya alasan dan uang adalah Tuhan." Ungkapnya. Mataku berkaca-kaca, sulit bagiku mengartikan cinta, karena aku tak pernah mendapatkan itu sekalipun dari orang tuaku. Lagi-lagi hanya Darren yang ku rindukan, dimana hanya darinya aku mendapatkan limpahan kasih sayang.

Aku membalikan tubuhku menapaki anak tangga satu persatu, dengan tangis yang tiba-tiba tersedu-sedu. Membayangkan betapa menydihkan kemewahan yang ku miliki, betapa mengerikan jalan fikiran kami, betapa menyebalkan hidup bergelimangan harta namun terkurung kesepian. Hingga aku tiba di kamarku, tampak ada beberapa jejak geladahan disana. Lemari-lemari terbuka, laci dan beberapa tempat lain. Mami? Iya pasti mami yang melakukannya, hingga ku sadari foto Darren menghilang di meja riasku. Mami mengambilnya, aku yakin itu.

Aku bergegas mandi, mengganti pakaian dan berusaha menenangkan diri di depan meja rias. Berusaha menyadarkan fikiranku bahwa tidak ada kehidupan yang sempurna, tidak ada bahagia yang hakiki di dunia ini. Ku tatap mataku di balik kaca, meluruskan ekpresi sedihku menjadi bahagia, yah meski itu sulit aku harus baik-baik saja. Aku beranjak dari sana dan beralih ke ranjangku, maksud hati ingin sejenak saja berbaring namun suara nyaring dari hpku membuatku terperangah dan bergegas menggeser tombol hijau.

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang