chapter 11

636 90 14
                                    

👦👦👦👦

DARREN

Suasana tiba-tiba menjadi canggung dan tak biasa, ibu melirikku yang tak berkutik ditempatku berdiri sesaat setelah Maura keluar. Batinku bertarung, ingin sekali mengejar Maura dan mengucapkan terimakasih karena meskipun keberaniannya harus gagal ia telah membuatku merasa seperti manusia. Namun, disisi lain aku memang tidak bisa pergi. Aku tak ingin menyakiti siapapun, termasuk ibu. Aku tak ingin melawan apapun, karena terlalu lelah menghadapinya, apalagi jika harus kulawan, akan seperti apa hidupku ini?

Namun,

Kali ini aku tak ingin memandang ibu, untuk pertama kalinya aku merasa kecewa dengan sikap ibu, aku merasa... Maura benar, bahwa selama ini aku hanya hidup seperti yang ibu input dalam programnya.

Aku berbalik, dengan lemas aku menuju kamarku.

"Darren..." panggil ibu dengan suara berat. Seolah ibu bisa merasa ada yang lain dari sikapku. Aku terhenti dan menoleh, kepalaku masih berat untuk memandang ibu. "Maafkan ibu..."

Terlalu sulit menahan air mata ini, cairan bening itu keluar juga dari sudut mataku. Diriku yang tak pernah menuntut, tak pernah berontak, seolah telah melawan, dan merasa lelah...aku kecewa, yang teramat.

"Maafkan ibu nak..." ibu melanjutkan kalimat itu masih dengan tangisnya. Ia hendak membalikan tubuhnya, merasa panggilan itu tak cukup membuatku menjawabnya, namun lagi-lagi aku tak bisa membuatnya bersedih karena sikapku.

"Iya bu..." jawabku lirih, ibu menoleh memastikan ekspresi wajah apa yang aku pasang setelah ia melihat tangisku melngalir begitu saja. "Aku gak papa..." aku menghapus air mataku, dan ku ganti kesedihan itu dengan senyuman. Namun ibu malah pergi dan menangis tersedu-sedu. Aku tak bisa mendeskripsikan maksud tindakan ibu ketika itu, yang aku baca hanya ibu pun terluka melihat senyum terpaksa yang ku gambarkan padanya.

Aku masih berdiri ditempatku berdiri, senyum itu lenyap secepat ibu lenyap dari pandanganku. Aku menggenggam dadaku erat, rasa sakit menjalar keseluruh tubuhku, perih batin ini. Entah mengapa rasanya untuk kali pertama aku menyalahkan semua keadaan ini pada ibu, namun aku takis semua fikiran ini, aku ganti dengan fikiran positif namun akhirnya batinku terluka hebat. Rasanya lemas, aku bertekuk lutut karena kakiku ternyata tak sanggup menopang beratnya tubuh ini yang dipenuhi dengan perasaan gelisah.

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, merasakan pita suara ini hendak mengeluarkan suara, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menangis tersedu-sedu di tengah gelapnya pagi yang berselimut tirai. Aku berlutut dengan payah, merasakan lemasnya tubuh ini, merasakan betapa lemah tubuh ini setelah menerima tekanan mental dan pernyataan demi pernyataan pahit yang sesungguhnya tak ingin ku tahui. Dan untuk pertama kalinya aku merasa bahwa ibu sangat kejam dengan semua aturannya... hingga aku tak merasakan apapun, rasanya tubuhku mengambang, aku tak lagi mendengar apapun, aku, pandanganku gelap.

👧👧👧👧

MAURA

Aku tak tau memgapa di usir sesakit ini, terlebih ketika aku memandang matanya, ia sangat berharap aku tetap tinggal. Air mata ini terus bercucuran, aku memandang wajahku didepan kaca di toilet yang berada di ujung koridor ruangan Darren. Ku lihat tangan ini, masih saja gemetar, ku genggam dengan tangan satunya. Mengapa dalam benakku aku sangat takut kehilangan Darren? Mengapa ia tiba-tiba berarti bagiku? Menapa melihatnya memasang ekspresi seperti tadi melukai batinku? Mengapa aku ingin mengajaknya pergi dari sini? Aku terus bertanya, namun aku tak memiliki jawaban apapun.

Setelah ku tumpahkan semua air mata yang ku punya, aku keluar dari tolet, aku terhenti ketika aku melihat ruangan Darren ramai di masuki para dokter dan orang tuanya. Aku tak lagi memikirkan malu, aku hanya berlari menghampiri dengan ekspresi panik yang sedari tadi ku tahan. Aku terhenti di depan kaca besar, yah tentu saja karena pintu itu sudah tertutup rapat. Tanganku kembali bergetar ketika ku dapati Darren diangkat dari lantai dengan tubuh lemah dan mata terpejam. Aku menutup mulut ku rapat-rapat berusaha menahan jerit tangis yang nyaris saja ku keluarkan. Mataku amat sangat perih, air mata itu keluar bertubi-tubi, tubuhku lemas, rasanya aku bisa merasakan sakit tubuh Darren. Hingga aku tak bisa melihatnya lagi karena dengan seketika Darren di bawa kedalam kamarnya.

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang