Chapter 4

872 102 11
                                    

MAURA

👧👧👧👧👧

Pintu kaca itu kembali kudorong tepat pukul 7 pagi, entahlah matahari pagi ini sangat hangat, udara pagi ini terasa indah, terasa menyejukan sanubariku. Ku langkahkan kaki ini perlahan, menengadah memastikan matahari itu memncarkan cahayanya disegala penjuru rumah sakit. Seolah matahari turut tersenyum dengan sinar kuningnya yang masih tersembunyi dibalik pepohonan disebelah Timur.

Flash back

Matanya yang berbinar seolah bisa mengalahkan gemerlap malam yang diterangi rembulan dan bintang-bintangnya, kita tak membahas sebuah film, apalagi kegiatan malam manusia. Kita mambahas harapan, kenapa matanya begitu bercahaya ketika aku bertanya tentang hal yang tak mungkin terjadi padanya.

"Darren, kalau seandainya kamu sehat kamu pengen jadi apa?" Tanyaku yang masih menatap kagum kedua matanya yang indah.

"Aku... mau jadi segala yang dibutuhkan manusia, semuanya!" Jawabnya. Aku tertegun, masih memandangnya.

"tapi... manusia hanya bisa jadi satu hal." Ungkapku. Dia tersenyum, matanya yang sedikit sipit semakin menyipit dengan senyum indah yang ia kembangkan.

"Manusia terlalu sempurna untuk hanya bisa menjadi satu hal." Jawabnya. "Banyak banget yang ada di fikiranku... seandainya dunia begini... seandaninya dunia begitu." Aku masih dengan posisiku menatap kagum Darren. "Lucu ya? Aku membayangkan sesuatu yang tak pernah aku bayangkan. Tapi ketika aku melihat matahari di gambar, ketika aku melihat rembulan di kegelapan, ketika suara mobil, motor lalu lalang, ketika terkadang suara angin bisa terdengar, suara hujan gemericik... aku tau betapa indahnya dunia..." tambahnya.

"Dunia itu kejam... keras dan menghakimi... aku gak pernah menyadari hal-hal yang kamu sebut itu indah." Dia tersenyum menatapku kendengarkan tiap kalimat yang keluar dari mulutku dengan antusias.

"Kenapa kamu berfikir begitu?"

Aku terdiam, aku mencari-cari alasan didalam otakku dan tiba-tiba pertanyaan Darren terngiang-ngiang ditelingaku seolah menyadarkanku, aku terlalu mencari-cari alasan untuk membenci padahal begitu banyak cinta yang kudapat.

"Karena..."

"Karena kamu sibuk mencari alasan... karena kamu sibuk mencari kesalahan... " ungkapnya, aku tertegun, dia tersenyum melihat mataku yang seolah mengatakan iya. "Tersenyumlah!"

Ah sejak semalam rasanya bibirku terus tersenyum, rasanya ada beberapa bagian dalam diriku yang terasa ringan. Kenapa? Karna tiba-tiba aku menemukan manusia seluarbiasa Darren, yang secara ajaib tiba-tiba membuat fikiranku terbuka, yang secara ajaib tiba-tiba membuat aku menengadah memandang mentari pagi dengan senyum, ku angkat tanganku seolah mentari itu bisa ku raih dengan jemariku, cahayanya masuk kesela-sela jariku menapakan seberkas cahaya hangat diantara wajahku.

Aku berjalan pelan, menikmati ayunan kakiku menuju taman kecil di depan rumah sakit, menghampiri ayunan warna-warni dan menaikinya, ku gerakan kakiku dan ku lepas sehingga tubuhku ikut terhempas bersama ayunan merah yang kunaiki, angin menerpa wajahku, meniupkan aroma segar dipagi hari, membuat rambutku yang diikat kuda terlempar kesana-kemari.

Ku genggam erat buku bercover warna coklat bermotif kayu yang terkesan clasic itu. Jemariku menyentuhnya, rasanya sudah teramat lama sejak terakhir kali aku membaca buku. Malas? Tentu saja, aku tak pernah beranggapan membaca buku itu membuatku banyak tahu, karena tentu saja aku hidup di jaman teknologi yang aku rasa tak butuh buku sebagai penunjang pengetahuanku. Tapi dengan ajaib sebuah buku ada di genggamanku. Ku hentikan laju ayunan itu, Aku menghela nafas malas, terang saja malas, buku yang penuh dengan gambar saja muak kubuka apalagi buku catatan seperti ini.

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang