chapter 13

673 81 4
                                    

👧👧👧👧

MAURA

Pagiku di UGD sungguh sibuk, aku bahkan tak memiliki waktu untuk sekedar duduk, tak seperti malamku di ruangan khusus, terlalu enak sepanjang malam hanya ku habiskan waktuku mengobrol dan menginjeksi beberapa obat saja. lari kesana kemari, menghampiri tiap ambulan yang datang dengan berbagai pasien yang memiliki kondisi yang berbeda-beda, menempatkan stetoskopku pada bagian-bagian vital tubuh mereka, merasakan suara-suara tak normal, menyuntikkan beberapa obat, memasangkan impus, hingga di sudut ruangan yang sudah sedikit tenang, aku akhirnya bisa duduk, seperti biasa aku mengangkat kedua kakkku dan menyandarkan kepalaku diatasnya dengan beberapa percikan noda darah di jas putih kebanggan semua dokter. Aku berkali-kali menghela nafas. Sebuah botol air mineral bening mendarat di depan wajahku.

"Aku belum liat kamu minum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku belum liat kamu minum..." ungkap Tasya. Ku raih perlahan dan ku teguk pula akhirnya. Tenggorokanku yang kering, rasanya tiap tegukan air segar itu mengalir dengan deras masuk kedalam organ-organku. Tasya yang juga sibuk, akhirnya bisa duduk disebelahku.
"Kamu berbeda sekarang Ra..." tambahnya dengan senyum.

"Apanya?"

"Aku liat kamu lebih giat, lebih semangat, lebih ikhlas tapi..." aku memandang Tasya serius. "Kamu tampak sedih..."

Aku kembali menghela nafas, inginku ungkapkan padanya bahwa sedari tadi aku hanya memikirkan Darren dalam otakku. Aku kembali meneguk air mineral yang sedari tadi ku pegangi.

"Mungkinkah Sya aku bisa jadi dokter yang hebat?" Tanyaku.

"Tentu..." jawabnya, aku kembali melirik kearah Tasya. "Tapi bukan itu yang lagi kamu fikirin..." seolah bisa membaca tatapan mataku yang masih saja kosong dengan cerita singkatku. "Apa itu tentang Darren?" Mataku berkaca-kaca, sungguh aku penasaran tentang bagaimana keadaannya, apa dia sudah bangun? Atau masih terlelap dalam rasa sakitnya?

Aku mengangguk perlahan mengiyakan tebakkan Tasya tentang fikiranku yang terus melayang-layang menuju ruangan Darren.

"Aku pengen tau keadaan dia gimana Sya..." jawabku.

Tasya memelukku. Mengelus-ngelus punggungku yang tampak tegang, ku biarkan lepas segala gundah itu di dalam dekapan Tasya, aku tak pernah tau jika si wajah datar ini punya sensitifitas yang tinggi, dia amat mengayomi dan hangat.

"Kamu liat daftar panggilan aku semalemkan Ra?" Tanya Tasya, aku melepas pelukannya dan memandang Tasya segera. "Sebenernya prof Vera nemuin aku sesaat setelah kamu pergi gak tau kemana." Aku menunggu dengan antusias lanjutan cerita Tasya. "Dalam beberapa hari atau 1 minggu kedepan prof Vera dan prof Juan bakalan terbang ke Jerman untuk penelitian, dan prof Vera minta aku tugas di ruangan khusus dengan beberapa staf dokter lain selama mereka pergi 1 minggu." Jelasnya. Aku terpaku, aku belum bisa memastikan apakah ini kesempatan atau suatu hal yang harus aku waspadai. "Aku rasa, aku bisa bantuin kamu mendapatkan informasi mengenai keadaan Darren atau semacamnya..." aku menyunggingkan senyumku pada Tasya dan menggenggam tangannya seolah mengucapkan terimakasih. "Tapi, aku juga gak mau kamu rusakin reputasi aku sebagai dokter magang yang paling terbaik disini." Tambahnya dengan sedikit ledekan yang membuat aku semakin ingin tersenyum lebar, aku mengangguk segera. "Dan satu lagi..." aku terdiam. "Menurut yang aku denger dari obrolan prof Vera semalam... Darren udah sadar..." aku menghela nafas lega. Aku menggenggam kedua tanganku seolah mengucap syukur dengan berita itu.

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang