Chapter 25

567 90 22
                                    

MAURA

🙍🙍🙍🙍

Berkali-kali ku fikirkan, mbak bilang mami pergi ke singapure, namun mengapa ia bisa kemari. Apa semua ini hanya sandiwara? Agar mami bisa mengalihkan perhatianku dan membuat Rillan mendatangi Darren. Aku masih terdiam memandang mami.

"Kenapa mami kesini?"

Mami kembali menarikku namun lagi-lagi ku lepas.

"Mi..."

"Apa seorang ibu perlu alasan mencari anaknya?" Bentaknya.

Tentu, aku faham itu... Mami tak perlu alasan mencariku, karena dalam benaknya khawatir itu selalu mengiringi setiap langkah kami putera-putrinya. Namun aku selalu merasa tertekan dengan kekhawatiran mami yang terlalu mendikte. Namun aku tak bisa berontak, Darren akan marah manakala ia tahu jika aku membantah mami dengan kekerasan pula. Karena lagi-lagi aku belajar darinya bahwa kekerasan tidak bisa menyatu dengan kekerasan. Harus ada pencair hingga sesuatu itu tidak keras lagi. Ku rangkul tangan mami dan membimbingnya keluar dari ruangan Darren. Mami tertegun melihatku yang begitu tenang namun dengan mata berkaca-kaca.

"Ayo kita pulang..." pintaku tenang. Tampak staf rumah sakit mengintip disegala sudut, berbisik-bisik dan mencibir. Tentu saja mereka akan menyalahkanku, karena hal ini sudah pasti belum pernah terjadi sebelumnya.

Tibalah kami di parkiran, Mami mengarah ke mobil Rillan yang masih terparkir, yah seperti dugaanku mereka datang bersamaan. Aku berusaha tetap tenang dan mengikuti arahan mami untuk masuk kedalam mobil. Rillan tak berkata apapun, sepanjang jalanpun demikian, kami tenang, sunyi dan tak saling membahas kejadian beberapa saat yang lalu.

Hingga kami tiba di rumah. Rillan mengikuti kami dari belakang, dalam wajahnya aku tahu betul banyak hal yang ingin ia sampaikan dan lampiaskan padaku. Amarahnya, sakit hatinya, dan segala macam hal yang terbaca dalam ekspresi wajah Rillan yang kusut. Baru saja kami tiba di ruang tamu. Rasanya tak sanggup lagi ku tahan, tangisku, unek-unek dalam hatiku, rasa bersalahku pada Rillan, pada Mami... terutama Darren.

Tiba-tiba terbersit dalam benakku, dan refleks ku peluk Rillan erat, aku menangis sejadi-jadinya dalam dekapannya. Kurang ajar memang sikapku, bukankah aku terang-terangan menolaknya tadi dan kini ku peluk ia dengan penuh duka.

"Makasih..." ungkapku di balik tubuhnya yang bidang, ia menyusupkan keplaku di dadanya tampak prasaan dalam kini ku rasa, ia membelai lembut rambutku dan ku dengar ia menarik nafas dalam, rasanya ia paham maksud terimakasih yang aku ungkapkan. "Makasih udah hadir di hidup aku, dengan segala perhatian yang kamu beri, atas segala kesabaran kamu..." Aku terbata-bata. "Dan maaf telah banyak menyakiti kamu, maaf karena aku gak bisa jadi Maura yang kamu mau." Ia melepas pelukkanku dan menghapus air mataku. Matanya memerah, ia menatapku penuh kasih dan lembut. Ia mengangguk, aku tahu ia terluka, ia ingin marah namun sulit karena ia pun merasakan cinta.

"Berbahagialah..." Satu kata yang membuatku kembali menangis histeris, Rillan pun menjatuhkan air matanya, satu kata yang bermakna luas, dan memberiku banyak jawaban atas segala pertanyaanku. Ku peluk kembali ia dan menangis didadanya dengan puas.

"Aku gaka akan nanya maksud kamu apa Lan, karena aku tahu kamu tulus." Bisikku. Ia mengelus rambutku.

"Aku gak akan biarin Darren bikin kamu nangis Ra. Aku bakalan bener-bener hajar dia kalau itu terjadi." tambahnya. Aku mengangguk dan melepaskan pelukkannya. "Apapun yang terjadi nanti, kalau hubungan kalian gak berlangsung baik. Maka tangan aku akan tetap terbuka Ra." tambahnya. Mami mendekati kami.

"Nak Rillan, kamu apa-apaan." Bentak mami.

"Setelah berbicara dengan Darren, setelah beberapa saat yang lalu aku terdiam... aku jadi mikir tan, Gak seharusnya aku begini, yang pada akhirnya aku dan Maura terluka." Jawabnya.

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang