chapter 14

684 84 10
                                    

👧👧👧👧

MAURA

Ah betapa bosan, Rillan memaksaku untuk makan malam tadi di tempat yang ia pilih, tempat yang terlalu mewah untuk penampilanku yang masih acak-acakkan. Akhirnya, setelah beberapa jam kami habiskan untuk menyantap makanan lengkap sampai dissert. Dan tak lupa dengan celotehan Rillan yang tanpa henti, dan aku yang terus tertunduk ketiduran. Namun seperti biasa Rillan tak mempermasalahkan semua itu, entah terbuat dari apa hatinya. Setelah rasa kenyang sudah memuaskanw hasrat kami, Rillan tak mengatakan apapun lagi selain berkonsentrasi dengan mobilnya, lagi-lagi ia menagetkanku. Ia membawaku ke klinik kecantikan mami.

"Ngapain kesini?" Tanyaku. Rillan membukakan pintu mobil dan ku dapati mami tengah berpangku tangan di depan klinik.

"Mami kamu nyuruh aku bawa kesini..." jawabnya singkat. "ayo...!" Dia menarik tanganku sampai aku bertemu muka dengan mami.

"Hhhh..." desah mami sesaat setelah aku ada di hadapannya. "Mami lagi males ngomel... ayo masuk... kamu dekil banget deh." Mami meninggalkanku dan ku ikuti mami dari belakang. "Ana, urusin nih Maura... pokonya dari ujung kaki sampe ujung kepala dia harus kinclong lagi."

"Mi... aku pengen tidur!" Rengekku.

"Emangnya kamu kalo perawatan gak pernah tidur apa!" Bentak mami. "Masuk sana, mami mau keruangan mami dulu, yuk Lan!" Ajak mami. Rillan seperti biasa mengikuti mami dengan patuh.

Akhirnya aku dan mbak Anna yang sudah sekiar 15 tahun bekerja di klink mami masuk menuju ruang treatment. Akhirnya juga disana aku bisa merileksasikan wajahku yang terasa seperti memakai kedok dan gatal, dan tidak hanya wajahku namun seluruh tubuhku mbak Anna rawat dengan telaten hingga aku kembali terlelap ditengah perawatan kulitku malam ini.

Beberapa saat berlalu...

Mbak Anna membangunkannku, aku perlahan membuka mata dan kurasakan badanku seringan kapas, sangat rilex dan menyenangkan. Aku duduk manis diatas ranjang, meregangkan tubuhku sambil menyaksikan mba Anna yang sedang beres-beres. Aku turun dari ranjang dan duduk menghadap kaca.

"Mba Anna, potongin rambut aku dong..." kataku tiba-tiba. Mba Anna menoleh kaget. "Please!!!"

"Mba Anna kan gak bisa potong rambut Ra..." jawabnya, aku berbalik, memandangnya dengan tatapan memohon.

"Mba Anna kan pernah kerja di salon dulu..." rengekku.

"Ya dulu itu, 15 tahun yang lalu, sekarang mana pernah motongin rambut orang." Elaknya, aku kembali memandangnya, mengemis dengan kedua tanganku yang ku rapatkan.

"Please!!!"

"Nanti ibu marah Ra, ibukan suka anak gadisnya berambut panjang." Jelasnya.

"Please!!!"

Akhirnya ia tak bisa mengelak permintaanku yang mendesakknya. Mbak Anna memotong rambutku perlahan-lahan. Seolah ingin ku tunjukan pada Mami bahwa kini Maura telah berbeda, Maura telah tumbuh menjadi Maura yang sebenarnya. Maura yang ingin tumbuh dengan kakinya sendiri, yah Rambut ini bisa ku sebut sebagai simbol pembrontakkan, keteguhan dan simbol dari lahirnya Maura baru malam ini.

Tepat pukul 12, setelah 1 jam mbak Anna berkutik dengan gunting dan sisir akhirnya lahirlah Maura dengan rambut pendek, kira-kira panjangnya sebawah telinga. Rasanya segar dan ringan, seolah bebanku telah terpotong habis bersama lembar demi lembar rambutku yang mbak Anna potong.

"Waaaa... aku suka banget!!!" Seruku. Mbak Anna tampak menyeka keringatnya yang bercucuran. Ia tersenyum dan menggelengkan kepala, ku peluk mbak Anna erat, "makasih mbak Anna sayang!!!"

HOPElessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang