delapan

519 39 0
                                    

"Mau makan dimana kita?" , tanya Adrian ketika aku sudah masuk ke dalam mobilnya.

"Bebas, pilihkan saja yang menurutmu enak." , aku tersenyum.

"Hmm, bagaimana kalau di restoran sunda?" , Adrian menunjuk ke sebuah restoran di ujung jalan.

Aku sedikit meringis, karena yang ia tunjuk adalah salah satu restoran milik Mommyku. Selain aku takut ada Mommy atau ada karyawan yang melaporkanku kepadanya,aku juga agak bosan makan disana.

"Jangan disana deh, tempat lain aja.", aku memohon kepada Adrian.

"Kenapa emangnya? Kamu gak suka makanan sunda?" , tanya Adrian bingung.

"Suka, aku kan orang sunda. Tapi itu yang kamu tunjuk resto mamaku." , entah kenapa aku lebih memilih jujur kepada Adrian.

Adrian pun mengangguk tanda mengerti. Ia langsung melajukan mobilnya. Ah, baik sekali dia, tak bertanya lebih detail tapi langsung memahamiku. Sudah lama tidak ada yang memahamiku seperti ini. Aku menatapnya kagum, sampai ia menoleh kepadaku. Akupun langsung mengalihkan pandanganku ke arah jendela.

***

Restoran dengan ornamen Jawa menjadi pilihannya. Aku sedang melihat menu-menu yang tertera. Aku menelan ludah, karena aku tak begitu suka makanan Jawa yang notabene agak manis. Lidahku pecinta rasa pedas sejak aku kecil.

"Kenapa kamu?" , tanya Adrian setelah menyebutkan pesanannya.

"Aku tak suka manis, bisa kau pilihkan makanan yang tak manis. Kalau ada pedas, tapi gurih juga gapapa." , aku memamerkan deretan gigiku.

Dia tersenyum hangat, dan menyebutkan beberapa menu makanan yang akupun tak begitu mengenalnya kepada pelayan yang sedang mencatatnya. Lagi-lagi aku dibuat kagum dengan sikapnya. Dia tak memaksaku, namun memilihkan yang terbaik untukku. Ah, Tuhan beruntung sekali aku memilikinya. Eh, ngomong apa aku ini. Kenal saja baru sudah merasa memilikinya.

***

Kamipun selesai makan, Adrian langsung mengantarkanku kembali menuju butik.

"Makasih ya udah nemenin aku makan siang." , ucapku dengan wajah ceria.

"Sama-sama, kapanpun kamu mau pasti aku temenin." , Adrian tersenyum kepadaku.

Aku sedikit terkejut mendengarnya, "Oke see you..." , akupun melambaikan tanganku.

Dia melambaikan tangannya, tersenyum lalu mengerlingkan matanya. Diapun berlalu melajukan mobilnya. Ah, bahagia sekali aku. Walau hanya ditemani makan siang. Padahal aku baru mengenalnya. Tapi, aku merasa sangat nyaman berada didekatnya.

***

Kudapati Zara sudah duduk di mejanya sedang berkutat dengan laptopnya. Akupun langsung masuk dan tak mengganggunya. Tapi dia menyadari keberadaanku dan langsung melirik ke arahku.

"Abis darimana lo?", tanyanya menyelidik.

"Makan sianglah, emang darimana?" , aku mencoba santai.

"Iya gue tau tapi kemana dan sama siapa ?"

"Ke restoran Jawa sama temen gue."

"Cowok?Deni bilang lo pergi sama cowok."

"Iya, kenapa gitu gak boleh?", aku meledeknya.

"Bukan gitu, tumben lo gak bilang gue. Siapa orangnya? Gue kenal gak?" , Zara mulai posesif kepadaku.

Aku sudah terbiasa untuk hal ini, dari dulu Zara memang posesif kepadaku. Apalagi sejak kejadian menyakitkan waktu itu. Dia memang sahabat yang baik yang tak pernah mau melihatku terluka. Duh, aku malas kalau harus mengingat luka itu lagi, apalagi saat ini. Saat aku sedang bahagia.

"Iya baru kenal sih, nanti deh gampang gue kenalin ke lo." , aku mengerlingkan mataku.

"What? Baru kenal? Dan lo pergi gitu aja sama orang yang baru lo kenal?" , Zara sedikit menaikkan nada bicaranya.

"Santai dong, dia orang baik. Salah satu pelanggan kita juga." , ucapku tenang.

"Gue cuma gak mau ada apa-apa sama lo." , Zara memelototiku.

Akupun mengangkat tanganku dan memohon maaf.

***

Zara beneran marah gak ya ?

Cinta Tanpa ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang