dua puluh empat

443 40 10
                                    

Esoknya aku bangun pukul empat dini hari, kutengok layar ponselku tapi tak ada satupun kabar dari Adrian. Aku kecewa sejujurnya, bahkan dari kemarin Adrian tak sedikitpun mengabariku ataupun meminta maaf. Kata-kata Deni kembali terngiang-ngiang di telingaku. Aku tak tahu apa yang Deni sampaikan benar atau tidak, tapi kalau boleh jujur aku berharap apa yang dikatakan Deni tidak benar adanya.

Aku menghela nafasku panjang, sebelum akhirnya aku putuskan untuk beranjak dari kasurku dan melemparkan ponselku ke kasur. Tak lama samar-samar ku dengar suara adzan subuh berkumandang. Aku beranjak menuju balkon kamarku, suasana pagi ini indah sekali. Selain angin yang menyejukkan suara adzan yang kudengar terdengar sangat indah di telingaku dan membuat hatiku sejuk.

Aku bergegas untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat subuh. Aku masih terbata-bata dalam membaca semua bacaan dalam shalatku tapi aku tetap berusaha. Aku sungguh malu dengan Allah, di usiaku yang sudah tak muda lagi aku masih seperti anak kecil yang harus terbata-bata membaca ayat demi ayat dalam shalatku.

"Maafkan aku ya Allah." ucapku di sela-sela isak tangisku ketika aku sudah menyelesaikan shalatku.

Tuhanku begitu baik, tapi aku malah melupakan semua kebaikannya. Bahkan menyapanya dalam kewajiban pun telah aku lalaikan sudah bertahun-tahun lamanya. Aku curahkan segala penyesalan dan kegundahan hatiku kepada-Nya. Aku memang masih terlalu jauh dari-Nya, tapi aku berusaha mendekatkan diriku kepada-Nya walaupun diriku sangat jauh dari kata "sholeha".

***

Selesai shalat subuh akupun bergegas dan turun, ruang makan masih sepi. Mungkin aku terlalu pagi hari ini. Akupun langsung menuju kursi dimana aku biasa duduk.

"Non, maaf sarapannya belum siap. Non mau makan atau minum apa dulu?" Seorang pelayan menghampiriku sedikit terkejut.

"Roti saja dan susu." Jawabku singkat.

"Mau pakai selai apa non?"

"Tak usah, biar aku saja." Aku sedikit tersenyum dan mengambil alih roti dari tangannya.

Ku oleskan selai coklat kesukaanku pada selembar roti tawar gandum kesukaanku. Akupun mulai melahapnya sedikit demi sedikit. Pagi ini rasanya aku memang kurang bersemangat, tetapi aku akui hatiku sedikit lebih tenang. Pengaruh ibadahku tadi pagi melekat jelas di diriku. Aku tak pernah setenang ini ketika dalam keadaan risau.

Tak lama berselang Daddy, Mommy dan Pita bergabung di meja makan bersamaku. Aku yang menyadari kehadiran mereka langsung tersenyum menyapa mereka.

"Suruh Deni main kesini Triana." Daddy mengatakan itu ketika aku tengah meneguk segelas susu sapi murni hangat yang pelayanku sediakan tadi.

Alhasil akupun langsung tersedak mendengar perkataan Daddy. Pita yang berada disampingku spontan mengusap-ngusap punggungku dan memberikanku segelas air putih.

Aku pun langsung menyelesaikan sarapanku, karena tak ingin mendengarkan Daddy berbicara lebih panjang lagi mengenai Deni. Apalagi jika harus membandingkannya kembali dengan Adrian.

Akupun bergegas menuju butik, namun ketika aku ingin beranjak aku menepuk dahiku.

"De kakak ikut kamu ya, kakak lupa mobil kakak masih di butik." Akupun mengurungkan niatku untuk segera bergegas menuju butik.

"Kenapa tak minta jemput Deni?" Mommy menggodaku.

"Apa sih Mom, Deni itu bukan siapa-siapaku." Akupun bergegas menuju garasi dan mengambil kunci mobil Pita yang tergeletak di meja tempat Pita sedang menikmati sarapannya.

***

Tak sampai setengah jam, aku sudah sampai di butik.

"Makasih ya de." Aku mengecup pipi adikku singkat.

Dia tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku, adikku yang cantik dan baik.

Aku bergegas masuk menuju ruanganku, butik masih sangat sunyi. Karena aku datang cukup pagi. Langkahku terhenti melihat sebuah buket bunga mawar merah tergeletak di mejaku.

Ku raih buket bunga itu, dan ada sebuah kartu ucapan terselip disana. Sepertinya aku sudah tahu darimana bunga ini berasal. Aku sedikit malas membuka kartu ucapan itu, namun aku tetap membukanya.

Sorry, I love you..

-Adrian

Aku memutar bola mataku malas, mudah sekali ia meminta maaf kepadaku hanya dengan mengirimiku sebuah buket bunga mawar merah. Dia pikir aku anak remaja yang akan selalu tergila-gila jika dikirimi bunga. Aku mulai jengah dengan kebiasaan Adrian yang satu ini. Rasanya sikap gentleman yang dulu biasa dia tunjukkan padaku sirna seketika.

Entah kenapa, aku memutuskan untuk membuang buket bunga mawar merah itu ke tempat sampah yang berada di ruanganku.

***

bener gak nih tindakan Tria yang satu ini ?

Cinta Tanpa ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang