[Completed] Son Seungwan dikurung selama hidupnya. Pada hari ulang tahunnya yang ke-22, Seungwan sudah menyusun dan menyiapkan segalanya dengan matang. Namun, hal diluar dugaan terjadi. Seungwan justru masuk ke dalam 'penjara' lainnya.
Mereka akhirnya kembali saat aku nyaris terlelap. Aku terjaga ketika V menyerukan namaku dengan nama panggilan yang ia berikan. Saat penglihatanku kembali normal, RM sudah duduk di kursi yang terletak dekat dengan ranjang yang kutempati. Lelaki itu menurunkan kain yang menutupi mulutku.
"Bagaimana? Sudah mendapat keputusan terbaik?"
"Begini Nona, kami akan melepasmu jika kau bisa menjamin sesuatu."
"Percuma. Kalian akan tetap berakhir meskipun ayahku belum tahu apa yang terjadi."
"Kau harus bisa, bagaimanapun caranya."
"Baik. I'll try my best, sekarang hubungi saja orangku biar aku bisa berbicara dengan mereka dan bilang aku sedang menginap di rumah temanku."
"Buka ide yang bagus." Ucap V.
"Memang, nasib kalian saja sih yang sedang buruk sebenarnya."
"Oi!!" Sentak Jimin.
"Sepertinya nasibmu yang sedang buruk, Nona. Keluar dari kandang buaya masuk ke kandang harimau." Ucap seorang lelaki, entah siapa namanya. Ia memiliki mata yang benar-benar bulat. Ia melipat tangannya, yang menyebabkan bisepnya terpampang dengan jelas. Apalagi lelaki itu mengenakan kaos tanpa lengan.
"Aku punya ide untuk kalian sebenarnya." Ucapku. "Sembunyikan aku disini dengan baik."
Hal pertama yang kudengar adalah tawa dari Jimin. "Kenapa? Kau lebih suka dengan harimau ketimbang buaya?"
"Hentikan percakapan tidak masuk akal ini. Aku muak mendengarnya." Yang ini suaranya agak berat dan terdengar begitu dingin. Tatapan kami beradu sampai dia memutar badannya dan berjalan keluar.
RM kembali menaikkan kain ke mulutku kemudian mereka semua keluar. Meninggalkanku sendiri dalam kegelapan dan aku pun memejamkan mataku kembali. Setidaknya aku bisa tenang, tampaknya mereka tidak akan melakukan hal-hal yang kupikirkan akan terjadi. Aku tidak akan menyebutkannya karena membayangkannya saja sudah membuat harga diriku jatuh.
———
Keesokan harinya, sebelum lelaki berambut oranye datang untuk membangunkanku, aku sudah lebih dulu terbangun. Hal pertama yang ia lakukan adalah melepaskan kain pada mulutku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku ketika lelaki itu membuka ikatan pada kaki dan tanganku. "Kalian akan membiarkanku pergi?"
"Tidak semudah itu, Nona." Balasnya. "Bangun dan ikuti aku."
Dengan patuh aku berjalan mengekorinya. Kami berjalan melewati lorong yang berujung pada sebuah pintu. Mataku mebelalak ketika melihat apa yang ada di balik sana. Kupikir selama ini aku berada di sebuah rumah kumuh, kotor, seperti rumah-rumah yang kubaca pada novel-novel bergenre crime ketika melihat bagaimana kumuhnya ruang penyanderaanku. Yang kudapati justru sebaliknya dan apa yang kupikirkan tentang sekelompok lelaki itu salah, kupikir mereka hanya bertujuh namun mereka lebih besar daripada itu.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri memperhatikan ruangan yang didesain dengan modern dan minimalis. Ada beberapa ruangan yang hanya di lapisi dengan kaca kedap suara. Jadi siapapun bisa saja melihat apa yang terjadi disana. Setiap ruangan juga dilengkapi dengan perangkat komputer canggih. Pun aku menunduk ketika orang-orang yang berada di dalam ruangan itu menyadari tatapanku.
"Permisi." Ucapku, tidak tahan lagi dengan rasa penasaranku yang sudah membuncah. "Apa kau diperbolehkan menjelaskan sesuatu padaku?"
"Itu bukan bagianku, Nona."
Aku dan lelaki berambut oranye, yang akhirnya kuketahui bernama Hobie, berakhir di sebuah ruangan yang memiliki gaya seratus delapan puluh derajat berbeda dengan lorong yang baru saja kulewati. Ruangan yang akan kuhadapi ini memiliki gaya victoria, didominasi oleh warna merah marun, sangat klasik. Di sana, duduk seorang lelaki, ia sedang membaca beberapa berkas ketika aku sampai. Dengan senyuman hangat nan menawan, ia menyambut kedatanganku dan menyilahkanku untuk duduk. Lalu menyuruh Hobie keluar dari ruangannya.
"Panggil aku Jin." Ucapnya memperkenalkan diri. "Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu hari ini."
"Aku akan melakukannya tapi ada satu syarat." Salah satu alis Jin terangkat namun ia tetap mengangguk, membiarkanku melanjutkan ucapanku. "Biarkan aku mengajukan pertanyaan juga. Mudah kan?"
"Bukan masalah." Jawab Jin, ia merebahkan punggungnya pada sandaran kursi kulitnya. "Aku tidak akan banyak bertanya padamu karena kau hanya mempunyai dua pilihan sekarang. Tidak banyak sandera yang kami biarkan melihat luar ruang penyanderaan. Jalan yang bisa mereka pilih hanya dua; satu, bergabung dengan kami dan mengucapkan sumpah. Dua, bebas dari apapun—"
"Geez, kalian membunuh mereka?"
Jin memberikan ekspresi seakan apa yang mereka lakukan adalah hal yang biasa terjadi. "Kau ingin mengambil jalan yang mana Nona Seungwan?"
"Wow, jadi kalian berani menyimpan anak perempuan Freddie? Bukannya terlalu beresiko? Kalian tidak takut ayahku menghabisi kalian?"
"Tapi tampaknya anak perempuannya tidak ingin kembali. Benar begitu? Kita berada dalam posisi yang sama sebenarnya."
"Aku baru mau memberikan jawaban setelah kau menjawab pertanyaanku. Jadi, aku berada dalam dunia macam apa sekarang?"
"Jika kau selama ini mengharapkan kebebasan. Aku minta maaf Nona, di dunia ini tidak ada yang namanya kebebasan. Tapi aku bisa menjamin setidaknya kau bisa mencoba hal-hal baru disini, di dunia Bangtan."
Aku mencoba untuk terlihat biasa saja. Namun sebenarnya di dalam sana rasanya seperti kembang api yang meledak di udara. Meskipun aku berada dalam kurungan hampir seluruh hidupku, aku tahu sedikit tentang dunia yang digeluti ayah. Beberapa kali aku pernah mendengar soal kelompok Bangtan dari obrolan ajudan-ajudan di rumah. Mereka membicarakan soal kelompok ini yang paling sulit untuk diketahui pasti dimana keberadaannya. Walaupun kelompok yang dipegang ayahku terkenal dengan kekejamannya dan begitu disegani, kelompok Bangtan seakan dua kali lebih maju pada tingkat keamanan dan inteligensi yang dimiliki setiap anggotanya. Tidak ada yang bisa mengenali siapa yang termasuk ke dalam kelompok Bangtan kecuali kaum mereka sendiri. Huh, aku bahkan telah menggunakan kata kaum untuk menyebut mereka. Bagaimana ya reaksi ayah jika tahu anak perempuannya ditawari bergabung ke dalam kubu rivalnya? Seharusnya dia bangga sih. Tapi sayangnya ayahnya tidak akan pernah bisa prestasiku yang satu ini.
"Semudah itu? Kalian tidak curiga semua ini hanyalah skenario yang ayahku buat untuk mengetahui keberadaan kalian? Kalian tidak senaif itu kan?"
"Percayalah, Nona Son. Aku akan langsung tahu apa yang ada di dalam pikiranmu, aku bahkan tahu ketika kau berniat berbohong."
"Kau bisa baca pikiran, Jin?"
Jin tidak menjawabnya alih-alih menagih jawaban yang harus kuberikan. "Jadi jalan apa yang akan kau pilih?"
Walaupun ini bukanlah jenis kebebasan yang kuinginkan, tapi tawaran yang diajukan Jin terlihat lebih baik ketimbang kembali mendekam di dalam rumah seperti tahanan atau mati di tangan mereka.
"Jalan yang pertama terdengar menarik."
Jin mengangguk, senyum tipis mengembang pada wajah rupawannya. Ia mengulurkan tangannya dan kusambut dengan keraguan kecil dalam hati.
Bebas? Sepertinya kata itu tidak tercatat dalam kamusku.