said one more lie

1.4K 213 5
                                        

Selama berada di tempat ini aku kesulitan tidur. Tidur dengan tenang menjadi sesuatu yang beharga mahal untukku. Aku diselimuti perasaan cemas dan sakit hati yang hebat. Jikalau aku berhasil masuk ke alam mimpi, aku akan terbangun dengan teriakan kencang sampai beberapa suster datang untuk menyuntikkan obat penenang. Aku curiga Brian berbohong padaku, aku pikir sebenarnya ayah tahu apa yang kulakukan dan dia sedang memberikanku hukuman.

Aku menandai sudah berapa lama mendekam disini dengan berapa banyak buku yang Brian bawakan untukku—meskipun aku sama sekali tidak menyentuhnya, tapi kehadiran buku-buku itu sedikit membuatku merasa normal. Biasanya Brian akan membawakan buku baru setiap lima hari sekali, saat ini buku di dalam ruanganku berjumlah sepuluh buku. Yang berarti kurang lebih sudah lima puluh hari mereka mencoba mengubahku menjadi orang gila.

Mereka mungkin akan berhasil, apapun obat yang mereka berikan berhasil membuatku merasa kosong. Akhirnya mungkin aku akan mencoba melakukan percobaan bunuh diri beberapa kali sampai akhirnya pihak rumah sakit bisa benar-benar menyatakan aku mengalami kelainan jiwa dan perlu melakukan rehabilitasi.

Akhir yang menyedihkan, pikirku. Dan aku tidak bisa menahan air mataku ketika membayangkan apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Seperti saat ini.

Brian membuka tirai jendela kamarku, membiarkanku mengonsumsi sinar matahari pagi. Dulu, aku selalu meminta Brian menemaniku berjemur di pinggir kolam renang setiap Minggu pagi. Sinar matahari pagi adalah salah satu hal kesukaanku di dunia ini. Kini aku akan selalu meminta tirainya ditutup karena keberadaan pagar penghalang yang terpasang di luar jendela hanya akan membuat perasaanku semakin memburuk. Pagar-pagar itu selalu menampar hatiku, selalu mengingatkan kenyataan yang seharusnya aku terima dengan lapang dada dan mengingatkan tidak ada gunanya memberontak.

"Sepertinya matahari pagi baik untuk kulitmu, Wan. Kulitmu terlalu pucat."

Rasanya aku sampai pada titik membenci segala hal yang ada di dunia ini. Mendengar suara Brian saja mampu memunculkan amarah di dalam sana. Melihat dan mendengar suaranya semakin membuatku merasa sendirian di dunia ini.

Kali ini aku membiarkan tangan Brian menghapus air mataku, membiarkan tangannya memberikan kehangatan bagiku.

"Maafkan aku, Wan." Katanya lirih, suaranya sedikit tercekat. "Semua yang kau katakan benar. Tapi setidaknya biarkan aku selalu berada di dekatmu, menjagamu."

Aku mulai muak mendengar ini. Pada akhirnya Brian sama saja dengan anjing-anjing peliharaan ayahku, akan menurut jika ditarik tali pegangannya. "Aku tidak percaya padamu."

"Jangan begini, Wan." Tangan Brian mengelus rambutku pelan.

"Aku hanya kecewa. Kecewa akan segalanya. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri, aku mengerti kenapa kau menjadi seperti ini. Kau memiliki sesuatu untuk diperjuangkan kan? Itu yang membuatmu tetap menjalani hidup dengan tegar. Kau beruntung Brian, sayangnya aku tidak."

Akhirnya pertahanan Brian runtuh, kini giliranku yang menghapus air matanya dengan tangan dinginku. Entah kenapa aku melakukannya, aku tidak tahan melihatnya. "Bertahanlah, tunggu sebentar lagi tolong."

"Aku tidak sanggup lagi, Bri."

GreenlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang