prolog

6.7K 535 54
                                    

Gadis cantik berbalutkan dress satin berwarna merah muda itu menatap nyalang dua orang yang saat ini sama-sama menundukkan kepalanya.

Salah satunya seorang gadis yang saat ini menangis sesenggukan dengan kepalan kuat di atas kemeja biru yang saat ini ia kenakan, sebelah tangannya menggenggam kuat telapak tangan hangat dan besar yang sedari tadi terus mengeratkan kaitan tangan mereka.

Sosok lainnya, seorang pria berwajah tampan dengan rahang yang kuat dan tegas, pria rupawan yang selalu di puja-puja oleh semua kaun hawa kampus.

Pria itu menatap tepat pada retina coklat yang sedari lima belas menit yang lalu terus menghujaminya dengan tatapan membunuh.

Sedangkan gadis lain yang seolah berperan sebagai hakim disini terus menatap dua manusia berbeda jenis itu dengan tatapan muak dan jijik.

Berbeda dengan gadis berkemeja biru, gadis cantik dengan hidung mungil dan bibir ranum itu mampu mengendalikan dirinya. Tak ada setetes pun airmata yang keluar dari kedua matanya.

"Jelaskan, lima menit!" Suara serak itu akhirnya keluar setelah memilih bungkam lebih dari lima belas menit lamanya.

"Ma-maaf"

Gadis itu mendengus tak suka, bukan kata itu yang ia harapkan. Satu kata itu seolah sebagai jawaban mutlak tanpa alih-alih menjelaskan terlebih dahulu. Dan ia tak menyukainya.

"Aku minta penjelasan bukan permohonan maaf!"

Mendengar nada ketus dan dingin dari bibir berbalut lipsteen merah muda lembut itu semakin membuat tangis perih dari wanita lainnya.

"Maaf. Jangan mempersulit semuanya, ji." Suara berat dari bibir pria di depannya mampu menaikkan emosi yang sebenarnya sedari tadi ia coba redam.

Gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain sembari mendongakkan kepalanya, berusaha menghalau kawanan airmata yang ingin menerobos dan keluar begitu saja. Jika ia menangis maka egonya semakin terluka, dan ia tak mau itu.

"Lalu? Jika aku membunuh orang tuamu saat ini juga dan setelahnya aku hanya akan mengatakan maaf padamu. Bagaimana perasaanmu?" Tandasnya dengan ada datar namun menusuk.

Gadia lain yang sedari tadi menundukkan kepalanya kontan mendongak dan menatap wajah dingin dari sahabat yang sedari sekolah dasar selalu bersamanya.

Gadis itu adalah satu-satunya keluarga yang ia punya di kota metropolitan seperti ini, setelah kedua orang tuanya meninggalkannya seorang diri selama-lamanya. Ia hidup serba kekurangan bersama sang nenek yang hanya seorang buruh tani dengan penghasilan pas-pasan di Busan. Hingga akhirnya ia mendapatkan tawaran sekolah dasar di sebuah panti asuhan di desanya, pagi hingga siang ia akan menuntut ilmu lalu sepulangnya ia akan membantu neneknya berladang.

Hingga suatu hari seorang pemilik yayasan menawarinya tinggal bersama di ibukota, ia diminta menjadi teman bagi putri kecilnya yang sering kesepian karna urusan kedua orang tuanya.

Ia dan putri pemilik yayasan itu terus tumbuh bersama, tertawa, menangis dan berbagi segala hal bersama. Hingga keduanya menginjak remaja, menuntut ilmu di sebuah universitas ternama. Kedua orang tua angkatnya memilih menetap di Jepang ketika ia dan putrinya sudah mampu hidup sendiri.

Mereka orang baik yang telah merawatnya dan mengangkat derajatnya menjadi gadis cantik dengan segala macam kelebihan yang di berikan, mobil, apartement serta uang tabungan yang terus mengalir. Bahkan putri mereka tak pernah sekalipun merasa iri akan hal itu.

Dia gadis cantik berhati baik, tak pernah sekalipun meluka hatinya sekecil apapun itu. Selalu mengalah terhadapnya yang terkadang ingin merebut apa yang gadis itu miliki. Dari permen, boneka, tas, sepatu, kamar, pakaian, mobil hingga kekasih.

IRISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang