7 Juli, 2008
Monica berlari menuju gerbang sekolah barunya yang sebentar lagi akan ditutup. Hari ini adalah hari pertama ia mengikuti kegiatan masa orientasi siswa baru di SMA yang sudah ada di daftar sekolah lanjutannya selepas lulus SMP. Dengan masih menggunakan seragam putih biru pendek dan rambut coklat sebahunya yang diikat dua oleh tali rapia putih, tas kardus berwarna merah, gelang tangan dari permen yang disusun serta sepatu yang dihias oleh tali rapia dengan warna yang senada dengan ikat rambut dan papan nama dari karton yang dilingkarkan di tengkuk. Jam sudah menunjukkan hampir jam 6 pagi. Ia telat karena tidur terlalu malam. Akibatnya, ia diomeli oleh maminya dan diantarkan oleh papinya ke sekolah melewati jalanan kota Semarang yang mulai macet.
Brukkk!!!
"Aduhh!!" Monica mengusap bahunya yang terasa sakit akibat bertubrukan dengan seseorang.
"Maaf, maaf... Aku gak sengaja." ucap suara bariton seorang pemuda remaja. Monica mendongakkan kepalanya. Manik abu-abunya bertatapan dengan manik hitam di balik kaca mata yang dipakai pemuda itu yang menatapnya dengan raut wajah khawatir.
"Kalau jalan hati-hati, dong! Untung gak sampai jatuh." rutuk Monica kesal sambil membenarkan penampilannya. Pemuda itu tersenyum kaku.
"Maaf..., aku juga kesiangan." Monica masih memasang wajah cemberutnya karena rasa sakit yang masih menderanya.
"WOII!!! KALIAN CEPETAN MASUK!!" kedua remaja itu tersentak kaget dan segera berlari ke dalam saat mendengar suara senior yang berjaga di depan gerbang.
***
Monica mendengarkan dengan bosan ceramah-ceramah kakak-kakak senior yang memimpin acara kegiatan itu. Matahari mulai naik dan mulai terasa panas yang membuat hawa di sekitarnya terasa gerah. Hanya ceramah-ceramah perkenalan dari para senior dan ucapan selamat datang untuk para siswa baru di SMA-nya sekarang.
"Siapa tadi yang merasa kesiangan? Sekarang maju ke depan! Saya hitung mulai dari sekarang, 1, 2...." serentak para siswa yang merasa kesiangan langsung maju ke depan, begitu juga dengan Monica. Mereka berjejer rapi di depan dengan wajah malu dan gemetar. Senior lelaki itu meneliti mereka satu per satu dengan tatapan tajam. Mereka menundukkan wajahnya takut tak berani menatap senior yang terlihat garang itu. Ia berhenti di depan Monica.
"Siapa nama kamu?" tanyanya terdengar datar namun tegas.
"Mo-Monica, Kak...." gugup Monica dengan wajah yang menunduk.
"Maju ke depan!" Monica mendongakkan kepalanya menatap takut-takut wajah senior itu.
"Se-sekarang?"
"Iya, cepetan!!" Monica tersentak dan langsung menuruti perintah seniornya itu. Wajahnya sudah merah padam karena malu berdiri di hadapan ratusan siswa yang lain dengan jantung yang sudah bertalu-talu.
"Siapa namamu?" Monica tak sempat mendengarkan kata-kata senior itu lagi di belakangnya. Ia hanya fokus memandang sepatunya yang bertalikan rapia putih sambil meremas jemarinya gugup. Ia melirik ke samping dan dilihatnya pemuda yang menabraknya tadi di gerbang berdiri di sampingnya dengan wajah sama gugupnya.
"Cieee!!!" seru para siswa yang lain saat melihat Monica berdiri berdua dengan pemuda itu. Wajah Monica sudah seperti kepiting rebus. Ingin ia menelpon maminya atau papinya saat ini untuk menjemputnya sekarang.
"Sekarang, saya minta pada kalian untuk memperagakan cara meminta seorang gadis untuk menjadi kekasihnya!" Monica membulatkan matanya terkejut. Begitu juga dengan pemuda di sampingnya.
"Ta-tapi...,"
"Laksanakan sekarang!" mereka langsung tersentak saat mendengar nada tegas senior itu. Mereka berdua sangat bingung dan gugup atas apa yang harus mereka lakukan sekarang ditambah dengan suara heboh para siswa lainnya yang menyoraki mereka.
"Tembak, tembak, tembak!!" dengan perlahan, pemuda itu mendekati Monica dan terdiam dengan raut wajah yang bingung.
"Berlutut!" pemuda itu hanya menuruti instruksi dari seniornya. Ia berlutut di depan Monica. Wajah Monica sudah terlihat pucat.
"Ayo, ayo, ayo!!" teriak yang lainnya yang diiringi oleh gelak tawa.
"Mo-Monica...." panggilnya sambil melihat papan nama Monica. Suara suitan terdengar heboh dan kompak.
"Ma-maukah kamu menjadi pa-pacarku?"
Deg deg deg ....
Jantung Monica terdengar berdetak liar saat matanya kembali bertatapan dengan manik hitam di balik kaca mata itu. Tubuhnya seakan membeku dan waktu seakan berhenti berputar.
"Terima, terima, terima!" suara bising di sekitarnya seakan tak dapat dirasakannya lagi. Matanya seakan terkunci dalam pandangan yang terasa membuatnya tak bisa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Tanpa sadar, ia mengangguk.
"Cieee!!! Yang udah jadian." Monica seakan terbangun dari mimpi. Ia menatap sekelilingnya yang tertuju ke arahnya. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat posisinya seperti di drama-drama romantis antara ia dan pemuda itu.
"Hah?" gumamnya bingung dan merasa seperti tak percaya saat dirinya masih berdiri di depan dan disadarinya pemuda itu sudah kembali ke belakang dan hanya ia sendiri yang masih berdiri di depan. Ingin rasanya bumi menelannya saat ini juga.
***
Monica memandang sinar lembayung senja yang menembus jendela kamarnya dan menerpa wajah putih mulusnya. Ia masih teringat kejadian menegangkan dan akan paling diingat selama sejarah masa remajanya. Wajah pemuda berkaca mata itu masih terbayang dalam benaknya. Tanpa sadar, sebuah senyum terukir di bibir merahnya saat mengingat kejadian konyol itu. Bagaimana saat mata mereka bertatapan dengan intens dan jantungnya yang berdegup kencang saat pemuda itu memintanya menjadi kekasih meski hanya sebatas drama. Tapi, semua itu seakan terasa nyata baginya. Ia mengingat nama pemuda itu yang ia lihat sekilas dari papan namanya, Albiantara D. P. Nama yang terlintas sampai saat ini di benaknya. Wajah yang terlihat manis dan kulit sawo matang yang terlihat eksotis di matanya. Pemuda itu cukup terlihat tampan dari fisiknya dengan tubuh tinggi yang sesuai dengan remaja lelaki seusianya meski tak berotot dan sesempurna model-model yang sering dilihatnya di majalah remaja koleksinya.
"Momo, sayang! Mami abis bikin pisang keju. Kamu mau, gak?" seru maminya dari balik pintu kamarnya. Monica tersentak dari lamunannya.
"I-iya bentar, Mi. Aku nyusul." jawabnya sambil beranjak dari ranjang yang bergambar boneka Barbie favoritnya. Ia tak peduli dibilang seperti anak TK oleh maminya dengan seleranya yang gemar kartun favorit anak-anak tersebut. Ia mengikat rambut coklatnya dengan ikat rambut hello kitty yang tergeletak di meja nakas di samping ranjangnya dan segera bergegas keluar untuk menghampiri orang tuanya ke ruang makan. Ia sadari sejak sepulang sekolah tadi, ia banyak melamun dan tersenyum sendiri mengingat kejadian di sekolah tadi pagi. Kejadian paling menegangkan, memalukan, namun mengesankan dalam sejarah hidupnya dan ia akan selalu menyimpan ini sebagai memori yang akan selalu dikenang sebagai cerita tak terlupakan di hidupnya jika seandainya ia tak pernah bertemu dengan pemuda yang bernama Albiantara itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Pieces
RomanceSejauh apa pun cinta meninggalkanmu, jika dia memang takdirmu, dia akan selalu menemukan dirimu lagi bagaimanapun caranya. Masalah usia yang masih muda membuat Abi dan Monica harus merelakan cinta mereka terputus oleh jarak dan waktu setelah mereka...