18. Restui Kami! (2)

2.4K 140 0
                                    

Monica terlihat gelisah dan mondar mandir di kamarnya dari tadi. Hari ini, Abi akan datang ke rumahnya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Abi sudah memutuskan untuk segera meresmikan dan meminta Monica kepada orang tuanya untuk dijadikan istrinya. Sesekali ia melirik jam yang tergantung di dinding kamarnya. Setengah jam lagi Abi berjanji akan datang ke sini.

"Mo, ada Nak Richard di bawah! Papi nyuruh kamu ke bawah dulu." seru maminya dari balik pintu. Monica menghela nafasnya. Apalagi sebenarnya yang diinginkan papinya?

"Iya bentar, Mi." sahutnya dari dalam. Terdengar langkah kaki yang menjauh dari kamarnya. Lebih baik sekarang ia bersiap-siap untuk mandi dan berdandan. Ia menetralkan degup jantungnya yang terus berdetak liar dari tadi.

Setengah jam ia mandi dan berdandan, akhirnya ia menarik nafas lega. Ia mengikat rambutnya model ekor kuda di depan cermin riasnya. Ia rasa make up tipis yang dipakainya cukup untuk menutupi wajah pucatnya karena terlalu gelisah. Ia menarik nafas sejenak. Lebih baik ia menuruti saja keinginan papinya sekarang. Ia yakin sebentar lagi juga Abi akan datang. Ia menuruni tangga dan melihat papinya sedang mengobrol dengan Richard.

"Selamat siang!" sapanya kepada kedua lelaki beda generasi itu.

"Momo, duduklah!" Monica duduk di sofa sebrang Richard. Ia merasa risih dengan pandangan Richard yang menatapnya tanpa kedip. Ia meremas tangannya gugup.

"Besok Richard akan kembali ke Amerika. Lebih baik kalian menghabiskan waktu bersama di sini. Dia akan lebih sering ke sini sekarang karena kami sedang membangun kerjasama antar perusahaan kami." Monica masih terdiam belum menjawab. Ia bingung karena Abi belum juga datang. Adam heran melihat raut gelisah dari wajah putrinya.

"Kenapa wajahmu terlihat gelisah?" tanyanya. Monica tersenyum tipis.

"Gak apa-apa kok, Pi." sesekali ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Adam hanya mengangguk.

"Jadi ba—"

"Assalamualaikum!" seru seseorang dari arah pintu rumah. Semua mata langsung tertuju pada siapa yang kini sedang berdiri di sana. Monica tersenyum lebar saat tahu siapa yang kini datang ke rumahnya. Adam dan Richard memandang lelaki berkaca mata itu penasaran.

"Walaikumsalam. Maaf, anda siapa?" Abi tersenyum. Ia menyalami lelaki paruh baya yang dulu sempat mengusirnya itu dan memisahkannya paksa dari putrinya. Tak ada dendam atau amarah sedikit pun di hatinya.

"Apa Om masih mengenal saya?" Adam mengerutkan keningnya dan meneliti wajah lelaki berkaca mata itu. Sepertinya wajah itu terasa tak asing lagi baginya.

"Maaf, saya lupa." Abi hanya tersenyum maklum.

"Saya Abi, Om. Apa Om masih ingat dengan nama itu?" Adam mencoba mengingat-ngingat kembali nama yang pernah didengarnya itu.

"Saya tahu pasti Om sudah lupa. Saya Abi Om, pemuda yang dulu pernah berani untuk meminta putri Om untuk menjadi istri saya di usia kami yang masih muda waktu itu." Adam dan Richard membulatkan matanya tak percaya. Mereka sangat terkejut juga Monica yang sudah sangat gelisah dan jantungnya berdegup kencang.

"K-kamu...." Abi tersenyum tipis.

"Iya, Om. Maaf jika kami belum jujur tentang pertemuan kami kembali satu minggu yang lalu. Kami hanya menunggu waktu yang tepat untuk ini." Adam masih memasang wajah tak percaya. Ia melirik putrinya tajam meminta penjelasan. Monica menundukkan wajahnya takut saat melihat tatapan tajam papinya.

"Ma-maaf, Pi... A-aku baru jujur sekarang. K-kami memang sudah bertemu seminggu yang lalu." gugupnya tak berani menatap mata tajam papinya.

"Siapa dia, Monica?" tanya Richard sambil melirik Abi. Sepertinya keputusan Abi untuk segera mendatangi orang tua Monica adalah keputusan yang tepat, karena jika ia tidak cepat-cepat, bukan tak mungkin Monica akan diambil oleh orang lain. Sebagai sesama lelaki, ia tahu jika tatapan Richard kepada Monica menunjukkan jika lelaki itu jelas-jelas tertarik pada gadisnya. Ia juga bisa merasakan tatapan tidak suka dari Richard kepadanya saat dirinya menatap Monica.

Two PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang