16. Please Don't Surrender! (2)

2.4K 155 0
                                    

"Mo—" Shinta terkejut saat melihat raut wajah putrinya yang terlihat sangat kesal luar biasa sambil berjalan cepat menuju kamarnya di lantai atas tanpa menoleh sedikit pun. Ia bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi dengan putrinya? Ia melihat Richard yang menyusul di belakangnya.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian?" tanya Shinta kepada Richard. Lelaki itu hanya mengedikkan bahunya.

"Aku tidak tahu, Aunty. Tiba-tiba saja sepulang dari restoran tempat kami mampir makan siang, dia langsung berubah dan tidak jadi makan di sana." Shinta mengerutkan keningnya. Ia menatap pintu kamar putrinya yang tertutup.

Sementara itu, di kamarnya, Monica sedang menangis meluapkan semua emosi dan kekecewaan di hatinya. Ia tak menyangka Abi akan berbuat setega ini padanya, menggantungkan harapannya yang sudah melambung tinggi pada lelaki itu.

"Kamu jahat, Bi! Kamu tega!" kesalnya sambil memukul-mukul ranjangnya. Air matanya masih mengalir. Ia meraih ponselnya dan membuka salah satu pesan yang dikirim oleh Abi.

'Monica, aku mohon dengar dulu penjelasanku! Kamu salah paham. Itu tak seperti yang kamu lihat'

Tak lama, ponselnya bergetar kembali menampilkan nama Abi yang memanggilnya. Ia melempar ponselnya di sampingnya. Ia masih kesal dengan lelaki itu. Lebih baik sekarang ia tidur saja daripada ia lelah sendiri menangis terus menerus, sementara Abi di sana bersenang-senang dengan gadis lain. Ia berharap bangun tidur nanti semuanya akan membaik kembali.

***

Abi merasa gelisah ketika Monica tak kunjung membalas pesannya dan mengangkat telponnya. Pasti gadis itu sedang marah dan salah paham dengan apa yang telah dilihatnya. Hilda yang dari tadi mengajak Abi mengobrol merasa heran dengan raut gelisah di wajah Abi.

"Mas Abi? Kamu kenapa?" Abi menatap Hilda yang sedang menatapnya heran. Ia tersenyum tipis.

"Boleh kita pulang sekarang? Aku merasa sudah kenyang." Hilda terdiam sejenak dan akhirnya ia mengangguk. Ia sebenarnya masih penasaran dengan Abi yang sedari tadi terlihat tidak konsen dan gelisah saat ia mengajaknya berbicara dan ia yang lebih aktif dalam obrolan mereka. Apa hubungan Abi dengan pasangan bule yang dilihat mereka tadi? Ia tak mau dicap sebagai orang yang ingin tahu urusan orang lain karena ia merasa bukanlah siapa-siapa untuk Abi.

"Iya. Ayo, Mas!" mereka beranjak dari tempat duduk mereka dan meninggalkan restoran kemudian. Abi mengambil motornya di parkiran disusul oleh Hilda yang naik di belakangnya. Mereka mulai melesat meninggalkan halaman restoran menembus jalan raya yang masih padat. Sepanjang perjalanan, mereka lebih banyak diam dan Abi hanya menjawab seperlunya saja. Hilda merasa tak punya bahan pembicaraan lagi untuk dibicarakan hingga akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang bercat putih yang lumayan bagus dan besar di pinggir jalan. Hilda turun dari motor Abi sambil melepas helmnya.

"Makasih ya Mas udah mau nganterin." Abi tersenyum dan mengangguk.

"Sama-sama. Maaf tadi aku mengabaikan kamu." Hilda tersenyum dan menggeleng.

"Gak apa-apa kok, Mas. Kalau gitu, saya masuk duluan, ya?! Mau mampir dulu ?" Abi menggeleng dan tersenyum tipis.

"Enggak, makasih. Lain kali aja. Yaudah, aku duluan! Assalamualaikum."

"Walaikumsalam. Hati-hati, Mas!" lalu, Abi melajukan motornya kembali meninggalkan Hilda di depan pintu pagar rumahnya. Setengah jam lebih, akhirnya ia sampai ke rumahnya juga. Setelah menaruh motornya di halaman rumahnya, ia segera masuk ke dalam.

"Assalamualaikum!" serunya saat masuk rumah sambil menaruh helmnya di meja ruang tamu.

"Walaikumsalam." Risti muncul dari arah ruang tengah. Ia tersenyum saat melihat putranya datang.

Two PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang