20. Counting Days

2.4K 154 0
                                    

"Lo beneran mau nikah, Bi??" tanya Yohan kepada Abi dengan wajah heran. Abi mengalihkan pandangannya dari layar laptop di depannya kepada temannya itu. Ia mengangguk.

"Iya. Do'ain ya semoga lancar nanti?!" Yohan menatap sekali lagi undangan biru muda yang diterimanya dari temannya itu. Ia merasa masih tak percaya.

"Gue kira lo gak normal. Ternyata lo masih doyan juga sama cewek." ucap Yohan sambil tertawa. Abi mendengus. Temannya satu itu memang tak tanggung-tanggung kalau bercanda.

"Sembarangan aja lo. Buktinya kita selalu sama-sama gak terjadi sesuatu yang mencurigakan." Yohan bergidik.

"Amit-amit kalau gue sampai belok sama lo. Gue masih lurus kali." Abi tertawa.

"Gimana sama si Chrisya? Bakalan demo tuh cewek saat dia terima undangan ini. Orang-orang kan udah pada tahu kalau tuh cewek demen banget ngejar-ngejar lo meski lo gak merespon balik dia." Abi hanya tersenyum.

"Ya, masalah hati gak bisa dibohongi atau dipaksakan. Gue cuma bisa apa?" Yohan mengangguk."

"Eh, gue balik dulu ya ke meja gue?!" Abi hanya mengangguk dan fokus kembali pada layar di depannya.

Pernikahannya dengan Monica akan diadakan seminggu lagi. Mereka sudah menyebar undangan pada kerabat-kerabat terdekat mereka juga Abi yang sudah memberikan undangan pernikahannya kepada teman-teman di kantornya. Ia tak peduli dengan reaksi apa pun dari teman-temannya tentang berita pernikahannya yang mendadak, karena setahu mereka, Abi tak pernah terlihat dekat atau menggandeng perempuan mana pun selain adik kembarnya. Abi merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal karena terlalu lama duduk. Ia melirik jam tangannya, sudah waktunya jam istirahat. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan keluar menuju ke arah mushola untuk melaksanakan sholat dzuhur terlebih dahulu. Saat ia melewati arah toilet, sebuah tangan menariknya. Ia tersentak dan terkejut setengah mati saat seseorang itu membawanya ke arah toilet yang kebetulan sedang sepi.

"Chrisya???" Abi terkejut saat melihat siapa yang menariknya. Ternyata gadis itu.

"Kenapa? Kaget?" tanyanya dengan nada datar. Abi bisa melihat ekspresi kecewa yang jelas di mata gadis itu.

"Ada apa kamu membawaku ke sini? Aku gak enak, nanti ada yang memergoki kita dan menimbulkan fitnah." Chrisya tertawa pelan.

"Biarin aja. Biar pernikahan kamu batal sekalian." Abi tersentak dengan ucapan gadis itu. Ia melepaskan dengan kasar tangan gadis itu yang masih memegang erat tangannya.

"Maaf, Chrisya. Aku mengerti dengan perasaan kamu, tapi kamu harus terima jika perasaan tak bisa dipaksakan. Aku yakin, kamu akan mendapat lelaki yang jauh lebih baik yang bisa mencintaimu dan menerimamu dengan tulus." air mata sudah mengalir membasahi wajah cantik gadis itu. Abi sebenarnya merasa tak tega juga. Tapi hatinya sampai kapan pun akan selalu terikat dengan Monica.

"Apa kurangnya aku, Bi? Apa aku kurang cantik di matamu? Apa aku belum memenuhi syarat untuk menjadi pendampingmu yang pantas? Katakan apa kurangku, Bi??" tanyanya setengah berteriak sambil menangis. Abi menggeleng.

"Kamu cantik dan menarik. Semua lelaki termasuk aku akan berpendapat yang sama. Tapi itu semua tak bisa menjadi alasan utama untuk aku jatuh cinta dan mencintai seseorang. Aku sudah memiliki wanita yang aku cintai yang sebentar lagi akan menjadi istriku. Aku mohon mengertilah, Sya!" Chrisya menggeleng.

"Kamu bohong kan, Bi? Aku tahu kamu selama ini tak pernah dekat dengan perempuan mana pun selain adikmu. Pasti kamu dijodohkan, iya, 'kan? Kamu mau mencoba menghindariku?" Abi meremas rambutnya frustasi. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi supaya gadis di depannya ini berhenti mengganggu ketenangan hidupnya.

Two PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang