"Da--fa?"
Cowok itu menyunggingkan senyum miring, "Hai."
Lira menghela napas dengan pelan, "Dafa ngapain ke rumah aku?"
"Emang gak boleh ya gue maen ke rumah lo? Jangan-jangan gara-gara sekarang udah ada si brengsek Adlan gue gak boleh main kesini lagi?"
"Dafa, aku gak suka ya kamu ngomong kayak gitu ke kak Adlan" Lira memperingati.
Dafa merasakan hatinya memanas. Lira belain Adlan? Gak salah?
"Lo belain dia sekarang?" Katanya sinis. Lira melengos, "Dafa apaan sih? Aku gak belain siapa-siapa. Aku cuma gak suka kamu bilang kak Adlan cowok brengsek"
"Lah, emang gitu keadaannya kan? Adlan emang cowok brengsek"
"Daf!" Lira membentak. Gadis yang selalu terlihat lembut itu kini menatap Dafa dengan tajam, Dafa sempat tertegun. Demi Adlan, Lira membentaknya?
"Cukup, aku capek. Kalau kamu kesini niatnya cuma mau berantem mening pulang. Aku mau istirahat" gadis itu berjalan meninggalkan Dafa. Tapi Dafa lebih dulu mencekal tangannya.
"Lo kenapa sih Ra? Kok jadi kayak gini sih?" Tanyannya tak mengerti dengan perubahan Lira yang menurutnya tak masuk akal.
Lira menoleh, "kenapa kamu bilang? Setelah kamu sakiti aku begitu dalam kamu masih tanya kenapa?"
"mikir dong Daf!"
"Oke, sekarang mau kamu apa? Aku gak bisa liat kamu kayak gini" Dafa mulai menyerah. Ia bukan manusia dengan kepekaan tinggi yang bisa dengan mudah mengerti perasaan gadis dihadapannya.
Mendengar itu Lira tertawa sumbang, "mauku apa? Mauku sekarang kamu pergi. Aku capek"
Dafa kembali mencekal tangan gadis itu, "Lira, pliss. Kasih tahu gue harus gimana?"
Lira menghembuskan napas panjang, dengan terpaksa gadis itu membalikan badan dan menatap Dafa dengan tatapan lelah.
"Aku gak minta apapun Daf, dari awal memang aku yang salah. Aku gak seharusnya banyak berharap, karena aku bukan siapa-siapa kamu--"
"Ra--"
"Sttt," Lira meletakan telunjuknya didepan bibir, mencegah Dafa untuk memotong kembali ucapannya. "Sekarang, kamu pulang. Aku juga mau istirahat. Jangan jadikan aku sebagai beban yang perlu dipikirkan, cukup lupakan aku anggap aku gak pernah ada dihidup kamu dan semuanya selesai" kata Lira. Matanya berkaca-kaca tapi langsung ditepisnya kasar sebelum menetes.
Dafa tergugu, ia ingin menyangkal semua yang dikatakan Lira tapi semua seolah menyangkut ditenggorokan. Semuanya lenyap saat melihat betapa terlukanya gadis itu.
"Ra," panggillnya kali ini tak digubris oleh gadis itu. Liranya bahkan sudah pergi sebelum ia meluruskan semuanya.
Meninggalkan Dafa yang saat itu hanya diam seolah terpaku ditempatnya berdiri.
Tapi, ditengah semua kebingungan yang melanda Dafa menyadari satu hal.
Sedikitpun cowok itu tak menyukai kalau Lira-nya menangis.
Tapi seperti kata Kevin, apa ini bisa dikatakan cinta?
***
Lira memasuki rumah dengan langakah lebar. Gadis itu bahkan tak menghiraukan Arfa yang sejak tadi menatapnya aneh.
Saat ini, Lira perlu tidur. Mengistirahatkan otaknya yang kini terasa berdenyut.
Sesampainya dikamar, Lira menghempaskan tubuhnya kasar keatas ranjang. Ia tak berbuat apapun, hanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru muda.
Tiba-tiba ia teringat Dafa. Terlalu kasarkah Lira terhadap cowok itu? Ah, kalau dipikir-pikir Lira jadi merasa bersalah.
Dafa gak salah, Lira yang salah karena terlalu berharap pada cowok itu. Dan ketika Lira mengingat tatapan sendunya, ia tertegun.
Apakah Dafa sedih? Bukannya Dafa tak memiliki perasaan apapun pada Lira, lantas apa yang membuatnya sedih?
Disini Lira lah yang patut dikasihani. Gadis itu baru pertama kali menyimpan harapannya besar pada lawan jenis tapi detik kemudian hatus kandas ditengah jalan.
Lira menghembuskan napas. Air mata bergerumul dipelupuk mata membuat pandangan Lira sedikit mengabur.
Gak! Lira harus kuat. Ia sudah sering merasakan sakit dan sekarang bukan saatnya untuk terlihat lemah. Lira harus membuktikan bahwa ia bisa berdiri tegak tanpa bantuan siapapun, termasuk Dafa.
Tok... tok...
"Ara, boleh abang masuk?" Suara Arfa terdengar. Lelaki itu mengetuk kamar Lira membuat Lira sedikit terperanjat dari posisisnya berbaring.
Dengan cepat gadis itu mengusap matanya yang tadi sempat berair, Arfa tak boleh tahu kalau tadi ia sudah menangis.
"Iya abang, masuk aja" katanya dengan suara serak.
"Kamu gak pap?" Itu kata pertama yang Arfa ucapkan saat melihat Lira yang tengah duduk diranjang dengan wajah murung.
Gadis itu masih menggunakan seragam sekolah lengkap, termasuk sepatunya walau Arfa yakin itu sama sekali tidak nyaman.
"Ara gak papa bang" jawab Lira, gadis itu mengalihkan tatapan pada jendela kamarnya yang belum tertutup gorden.
Arfa mendekat, cowok itu duduk disebelah Lira dan mengelus kepalanya lembut. "Ara, kamu gak bisa bohong sama abang"
"Abang, Ara gak--"
"Ara! Tell me the truth" suara Arfa naik satu oktaf. Lira beringsut menjauh membuat Arfa kembali melembutkan suaranya.
"Hei, kamu tinggal ngomong apa yang kamu rasain sekarang sama abang, abang gak akan nyakitin kamu" katanya.
Lira tersenyum, gadis itu bergerak memeluk Arfa dngan perasaan meluap. Lebih ke perasaan bersyukur memiliki cowok itu yang telah menemaninya sampai sekarang.
"Ara sayang abang"
Arfa menarik laju bibirnya keatas, "abang jauh lebih sayang sama Ara"
"Jadi, ceritain kenapa adik abang yang satu ini murung?" Lanjutnya. Lira melepas pelukannya seketika dan menatao Arfa dengan cemberut.
"Ihh abang udah dibilangin Lira gak papa"
"Ara!"
"Abang, Ara kayaknya suka sama Dafa"
***
Oke guys, bilang ke gue selama apa cerita ini menghilang😲
Sorry banget sama yang udah nungguin cerita ini *siapa juga yang nungguin😂
Sorry for typo, vote and comment jan lupa yaak😍
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby Girl
Teen FictionAlira bagaskara, gadis itu terlalu lugu untuk seorang Ardafa Baradewa, si bad boy sekolah yang terkenal dingin dan tak berperasaan. Ardafa jatuh hati pada kepolosan Lira. Dan Lira terlena dengan janji yang diucapkan Dafa kalau cowok itu akan selalu...