3.

22.7K 982 26
                                    

versi sudah di revisi ✅

Tak ada yang benar-benar menyedihkan dari turunnya hujan. Bisingnya suara dari derasnya rintikan hujan yang menghantam tanah, hawa dingin, dan rasa tenang menyatu di dalam hujan. Suasana yang gak bisa di rasain di cuaca lain selain hujan. Laki-laki dengan jaket biru donker yang membalut seragam putihnya itu, duduk tenang menikmati hujan yang turun mengguyur Jakarta pagi ini. Alunan musik di telinganya berhenti dan berganti dengan dering telpon, ia melirik layar ponselnya dan mengangkat panggilan masuk tersebut.

Pagi ini di sepanjang jalan menuju sekolah Alisha memandangi rintikan hujan yang mengguyur Jakarta hari ini. Hanya ada dua kemungkinan dari kedatangan Alisha ke sekolah, pertama kepagian, kedua kesiangan. Alisha sudah biasa menjadi siswa yang datang paling pertama di kelasnya, ia biasa menghabiskan sekitar tiga puluh menit hingga sekolah mulai ramai oleh kedatangan siswa-siswi yang lainnya. Alasan mengapa dirinya selalu datang kepagian adalah karena ia menyesuaikan dengan jam kerja Ayahnya. Dan alasan kenapa dirinya datang kesiangan ya karena Ayahnya bangun kesiangan.

Saat harus melewati kelas terlarang itu mata Alisha dari kejauhan sudah menangkap kalau ada sosok laki-laki yang duduk di bangku tepat di depan kelas itu. Alisha menarik nafasnya dalam dan membuangnya perlahan.

“Inget kata Rissa! Harus hati-hati!” gumam Alisha guna menyemangati dirinya sendiri.

Alisha akhirnya melangkah melewati laki-laki yang ia yakini adalah salah satu dari anggota 123 geng yang kemarin kedua temannya jelaskan, tapi jujur Alisha lupa namanya.

“Hemmm.”

Alisha menghentikan langkahnya mendengar dehaman itu, lalu ia menoleh ke belakang, menatap laki-laki itu, lalu melarikan tatapannya dengan menyapu bersih koridor pagi ini. Gak ada orang lain selain dirinya dan orang ini, jadi Alisha sudah yakin kalau dirinya gak salah.

“Iya kenapa?”

Laki-laki yang tadinya gak menoleh bahkan gak sadar dengan kehadiran seseorang di hadapannya itu, kini mendongakkan wajahnya menatap gadis yang terlihat menunggu balasan darinya.

“Kenapa?” ulangnya lagi.

Alisha semakin bingung saat laki-laki itu tidak mengatakan apapun selain menatap wajahnya dengan tatapan yang Alisha yakini akan muncul di mimpinya malam ini, alias... serem.

Entah berapa detik atau bahkan menit Alisha berdiri menanti jawaban dari laki-laki dengan tatapan mengintimidasi itu, hingga dirinya sadar kalau laki-laki itu mengenakan earphone, dan saat ponselnya tak sengaja menyala, terlihat tampilan telpon.

Alisha langsung menutup matanya, menahan rasa malu yang siap tumpah dari kepalanya, dan dengan kecepatan kilat ia berlari meninggalkan laki-laki itu tanpa sepatah kata lagi.

Saat sampai di kelas Alisha langsung menjatuhkan kepalanya di atas meja dan berteriak mengisi suara di kelasnya yang masih kosong ini.

“Kenapa lu?” suara laki-laki yang sudah familiar itu membuat Alisha langsung mendongakkan wajahnya, dan tersenyum sumriang.

“Andrean!?” pekiknya lalu berlari dan memeluk temannya itu.

“Sumpaaah gue kangen banget sama lo! Jadi lo udah sembuh?”

“He’em udah lah... mana mungkin gue rela masuk sekolah kalo belom sembuh, kaki kesemutan aja gue izin gak masuk Lish.” Jelas Andrean, membuat Alisha tertawa kecil.

Tak berbeda jauh dengan Alisha, Andrean juga pendatang baru di kota ini. Bedanya, Alisha pindah saat kelas dua SMA, sedangkan Andrean sudah meninggalkan Surabaya saat dirinya baru lulus dari SMP.

Di Surabaya hanya Andrean satu-satunya teman Alisha, mereka satu SD, SMP, dan rumahnya juga berdekatan. Mereka memang teman akrab, tetapi Alisha masih gak berani untuk menceritakan kisah hidupnya yang sejujur-jujurnya terhadap teman laki-lakinya ini, karena ciri khas Andrean adalah Si Tukang Keceplosan.

OREOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang