Alisha datang dengan secangkir teh yang ia letakkan di atas meja. Sore ini Azka menghampirinya ke rumah Oma, karena semenjak kedua orang tuanya membicarakan masalah perceraian, seakan percakapan itu hilang jejak tanpa akhir. Ibunya kembali pergi dan tak pulang tanpa kabar, Ayahnya jarang pulang dan selalu memberi kabar bahwa dia menginap di kantor, dan Revo yang lebih sering menginap di rumah temannya. Alisha tinggal bersama Omanya sudah sekitar dua minggu, setidaknya di sini lebih damai, walaupun untuk ke sekolah jarak yang di tempuh jauh berkali-kali lipat. Alisha harus naik kereta untuk sampai di sekolah, tidak bisa jalan kaki lagi.
Tadi Azka sempat berbincang-bincang ringan dengan Oma sebelum wanita tua itu mengantuk dan akhirnya pamit untuk tidur.
"Terus, pas kamu berani ngomong sarkas ke Ayah kamu, gimana?" tanya Alisha melanjutkan percakapannya dan Azka yang terhenti saat suara teko panas berbunyi.
"Papa bilang, you're mature for your age." Alisha duduk dan mendengarkan. "Aku jawab, thanks it's the trauma."
Alisha menutup mulutnya spontan tetawa, Azka pun ikut tertawa kecil.
"Bener, sih, kadang kita dewasa sebelum waktunya karena trauma," ucap Alisha.
"Ya, manusia itu didewasakan dari pengalaman," tambah Azka.
Suasana yang indah, ketika di mana kita merasa sangat nyaman dengan seseorang hingga kita bisa membicarakan banyak hal yang sebelumnya hanya kita pendam. Sebelum mengenal Alisha, Azka tidak pernah bercerita secara suka rela, harus dipancing terlebih dahulu. Rara yang selalu sabar menanyakan bagaiman keseharian Azka, dan dia biasa menjawab hanya sekata dua kata. Namun, bersama Alisha, dia seakan tersihir aura semangat gadis itu, sehingga sering larut dalam hal-hal yang sebelumnya belum pernah ia bicarakan.
Bagi Alisha, make someone feel bad for being excited about something that makes them happy adalah perilaku tidak terpuji. Itu sebabnya ia selalu ikut bersemangat pada segala cerita dari orang-orang yang mempercayainya untuk berbagi kisah. Tak heran, Alisha suka disebut pendengar yang baik.
"Al." Alisha menyudahi lamunannya dan menoleh. "Hm?"
"Kalo butuh—"
"Kalo butuh apa-apa bilang aku, ya." Alisha mendahului kalimat Azka yang sudah ia hafal betul.
Azka tersenyum kecil dan mengelus puncak kepala gadis itu. "Yuk, belajar."
Alisha mengangguk cepat dan langsung mengambil buku-bukunya. Seminggu lagi ujian nasional akan dilaksanakan. Syukurnya, Alisha banyak dibantu Azka dalam proses belajar materi-materi fisika dan matematika yang semakin rumit.
---
Revo menelepon Alisha pukul delapan malam dan memintanya untuk pulang ke rumah. Alisha menurutinya, karena Revo bilang Mama dan Papanya pulang.
Baru tangannya memegang gagang pintu, suara saling adu mulut sudah mampu Alisha dengar. Alisha membuang napasnya lelah dan membuka pintu tersebut tanpa harapan tinggi.
Namun, saat memasuki rumahnya, Alisha terkejut hebat, saat dirinya langsung ditarik oleh ibunya, dan posisinya saat ini berada di tengah-tengah Kania dan Aji.
"Alisha ikut saya!"
"Sembarangan! Mau jadi apa dia? Perempuan gak bener kayak kamu!?" sertak Aji menarik tangan Alisha dengan kasar untuk mendekat dengannya.
"Terus, kamu mau dia tinggal sama laki-laki pemabuk kayak kamu? Yakin anak ini bisa aman?" balas Kania.
Alisha benar-benar merasa pusing yang sebelumnya belum pernah mencapai tingkat sesakit ini, rasanya kepalanya benar-benar siap pecah, dan seketika semuanya kabur, buram, dan hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
OREO
Teen Fiction(Batal Terbit) When you fall in love, there is no way to stop it. Just let it feel. Let it hurt. Let it flow. Karena gak ada yang salah dari sebuah perasaan. ~~~ (start 26, 01, 2018) (finish 22, 09, 2018)